Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menggugat “Cabul” dalam Sastra

15 Desember 2009   01:34 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:56 405
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Mulanya, penulis berita itu barangkali berpikir akan menghaluskan bahasa beritanya karena berita tersebut merupakan berita meusum. Sayangnya, usaha hendak menghaluskan bahasa malah menjadikan penyampaian berita terkesan ‘dicabul-cabulkan'. Kata-kata yang digunakan oleh si penulis berita tersebut telah membawa imaji pembaca membayangkan situasi dan suasana tukang dan janda saat ditangkap. Pembaca juga telah diajak mengenal ‘minyak ketam' yang sebenarnya air seni yang melekat di kain barang bukti. Maka inilah sebenarnya bahasa cabul tersebut.

Memang sulit memberi penanda cabul atau tidaknya bahasa yang digunakan oleh penulis dalam karyanya. Akan tetapi, melihat siapa dan di mana karya tersebut diedarkan, akan dapat membantu kita menentukan batas kewajaran dan kecabulan dimaksud. Bahwa dalam tinjauan teks sastra berlaku pendekatan ekspresif yang membicarakan soal budaya dan latar belakang penulis tak dapat dinafikan. Karenanya, karya-karya yang dilahirkan oleh para sastrawan terkadang mencerminkan budaya lokal satu tempat. Maka, jika penulis itu adalah orang Aceh dan menerbitkan karyanya untuk dikonsumsi oleh orang Aceh, mau tak mau ia harus "taklid" pada budaya ketimuran masyarakat Aceh. Di sinilah baru dapat penikmat karya sastra menjatuhkan penilaian apakah karya yang dibacanya benar cabul atau tidak.

Terakhir yang mesti diketahui oleh para penulis adalah bahwa setiap karya yang sudah dilahirkan atau dipublikasi, itu bukan lagi mutlak milik penulis/pengkarya. Karya itu sudah jadi milik khalayak. Khalayaklah yang menentukan termasuk golongan mana. Seagai penulis, kalau tidak ingin menerima predikat cabul, ia mesti berhati-hati dalam pengungkapan cerita dalam karyanya. Wassalam!

Oleh Herman RN

Penyuka karya sastra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun