Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aceh di Mata Sastra

3 Desember 2009   19:15 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:05 375
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sistem pemerintahan Aceh boleh jadi dikenal oleh bangsa luar lewat Iskandar Muda. Namun, masa pemerintahan tersebut mulai pudar seiring bergantinya rezim pemerintahan di Aceh atau jika boleh tidak munafik, kehilangan gemilang itu sejak Aceh termakan tipu muslihat Indonesia. Bayangkan saja, berapa besar sumbangan rakyat Aceh untuk membeli dua pesawat terbang bagi Indonesia, tetapi yang dibeli hanya satu pesawat RI-001, sedangkan uang sisa satu pesawat lagi, tak jelas. Ini baru secuil kisah memilukan Aceh dari Indonesia, belum lagi kita balik sejarah Aceh yang membiayai hidup pakar-pakar kebanggaan Indonesia seperti Dr. Sudarsono di India, L.N.Palar di Pertubuhan Bangsa-bangsa Bersatu (PBB) New York, biaya keliling Haji Agussalim, hingga Konferensi Asia di New Delhi pun dibiayai dari uang rakyat Aceh. Bukankah semua ini dapat menjadi catatan sejarah kegemilangan Aceh masa lalu?

Hal ini terkesan pudar atau sengaja dipudarkan (?). Maka sastra menjawab itu semua sehingga tak mampu dikalahkan. Nuruddin Ar-Raniry dan Abdul Rauf As-Singkili adalah salah satu dari sekian contohnya. Kemasyhuran dan kemasygulan dua sastrawan itu pula, menjadikan Aceh sangat dikenal dalam bidang agama, terutama atas nama Islam. Hal ini menunjukkan bahwa gelar Serambi Makkah itu muncul karena adanya sastrawan. Artinya, ada sastrawan dahulu, baru muncul gelar-gelar yang lain. Itu salah satu alibi saya menyebut Aceh tak dapat dilepaskan dari sastra serupa kulit dengan isi.

Sastrawan dengan karyanya memperkenalkan Aceh ke belahan dunia mana pun secara cepat, sedangkan raja, menjadi masgul hanya tatkala pemerintahannya bagus dan apik dikelola. Jika mengacu pada zaman sejarah, sang raja baru akan dikenal oleh bangsa luar tatkala menang perang dengan segala taktiknya. Sedangkan sastrawan, cukup bermodalkan sebatang pena dan kertas, baik dalam situasi kalah perang maupun menang, tetap dapat mengangkat marwah bangsa dan daerahnya. Hal ini karena sastra berbicara atas dasar estetika dan etis, yakni keindahan dengan menjunjung tinggi peradaban, bukan perlawanan yang berdarah-darah. Maka dalam warkah ini, ada gelisah yang membesar di benak saya, yakni manakala karya-karya besar dan sastrawan hebat Aceh tersebut jarang dikenal oleh dan di bangsanya sendiri, lantas di manakah peran sastrawan Aceh di masa kini dan akan datang? Haruskah kita hanya bernostalgia atas gemilang yang sudah lampau, sementara zaman terus berputar?

Sejatinya, peran pemerintah Aceh, baik di tingkat daerah maupun provinsi, sangat penting demi mendukung kemajuan sastrawan Aceh. Sebab, selama ini saya melihat yang menjadi konsumsi anak-anak Aceh hanya dongeng dari negeri seberang. Padahal, di Aceh banyak hikayat yang menjadi kecerdasan dan semangat bagi aneuk-aneuk Aceh. Namun, semua masih bertabur sehingga sering kita dengar sastrawan-sastrawan muda di Aceh kesulitan mendokumentasikan naskahnya sebagai sebuah penghargaan untuk Aceh. Saya kira pemerintah Aceh tahu yang mesti diperbuatnya terhadap sastra di Aceh, sebab sastra dengan Aceh ibarat dua sisi mata uang yang salig berkesinambungan. Atau kita kembali menerima kekalahan berikutnya dari negeri kesatuan ini?

Herman RN, Mahasiswa Pascasarjana Bahasa dan Sastra Universitas Syiah Kuala.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun