“POLITIK selalu menghalalkan segala cara.” Jargon ini sudah jadi rahasia umum. Politik pula yang membuat orang jadi keledai, kerap jatuh ke lubang yang sama sampai lebih dari satu kali. Di sisi lain, kadang rakyat kecil memang terpaksa dan dipaksa menjadi keledai.
Bagi kalangan politisi, mereka tidak lebih dari segolongan orang yang gemar menjilat ludahnya sendiri. Misalkan saja, tempo hari ia berkata bahwa pantang bermitra dengan si fulan dan kelompoknya. Hari ini berlaku sebaliknya, orang yang dulu dianggap musuh tujuh turunan malah kini dijadikan kawan seiring sejalan demi mencapai kursi dan jabatan pemerintahan.
Politiklah telah mengubah pola pikir. Politik mengubah dendam menjadi cinta, mengubah kawan menjadi lawan. Dalam kasus Aceh, misalnya, banya orang Aceh dulunya mengatakan bahwa pantang bermitra dengan pembunuh rakyat Aceh. Kini semua ucapan itu tak lebih sebagai jargon di kakus, semisal siram yang banyak sehabis buang air tetapi tetap saja jarang orang melakukannya.
Di Aceh hari ini terlalu banyak lahir penjilat ludah sendiri. Koalisi antarpartai menjadikan para politisi dan penggila kursi itu lupa ucapan tempo hari. Bahkan, komandan pasukan khusus militer yang dulunya tukang bawa Operasi Militer (OM) pun kini jadikan rekan, demi kursi pemerintahan.
Janji untuk Aceh
Mari sejenak hening cipta, menundukkan kepala dan mengingat sekilas perjalanan sejarah Aceh dalam genggaman Indonesia. Pertama, Soekarno pernah ke Aceh “mengemis” di hadapan Daud Beureueh agar orang Aceh mau menyumbang pesawat untuk Indonesia. Janji Soekarno kala itu bahwa Indonesia akan dijadikan negara Islam seperti permintaan Daud Beureueh. Khusus Aceh diberikan keistimewaan lebih.
Nyatanya, sekembalinya Soekarno ke Jakarta, Aceh malah dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara. Upaya ini untuk “melenyapkan” wilayah Aceh sekaligus mengurangi peran Daud Beureueh kala itu. Soekarno merasa tersaingi oleh Daud Beureueh, karena seluruh pelosok paham bahwa Daud Beureueh adalah “singa podium”, tetapi gelar “singa podium” itu sekarang dilekatkan orang kepada Soekarno. Mereka lupa membaca sejarah sebenarnya.
Kedua, masa Soeharto. Tentu saja semua daerah di Indonesia nyaris terkena “tipu Soeharto”, tak terkecuali Aceh. Gelar “Daerah Istimewa” yang dilekatkan di awal nama Provinsi Aceh merupakan trik dari tipu Soeharto. Penghasilan perusahaan-perusahaan besar di Aceh dikerahkan untuk Jakarta. Sedikit sekali yang didapat oleh Aceh.
Rezim Soeharto pula yang membuat tatanan administratif pemerintahan adat di Aceh “lenyap”. Lahirnya undang-undang nomor 5 Tahun 1979 oleh rezim Soeharto telah menghilangkan fungsi dan wewenang imum mukim di Aceh. Yang paling parah dari rezim ini adalah diberlakukannya Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM).
Sembilan tahun Aceh diterapkan DOM (1989-1998). Jika hitungan satu generasi adalah maksimal usia balita (lima tahun), bearti nyaris dua generasi Aceh dilenyapkan oleh kekuasaan semasa DOM. Ketika itu, nyawa rakyat Aceh tidak lebih mahal dibanding nyawa seekor tikus. Penembakan di tempat secara membabi-buta, penyembembelihan manusia secara sukarela, pemerkosaan secara brutal, dan berbagai lakon tidak manusiawi lainnya berlaku di seluruh daerah Aceh selama DOM.
Ketiga, masa pemerintahan Gus Dur. Presiden keempat ini memang terkenal juga lihai dalam bersenda gurau. Sebelum menjadi presiden, Gus Dur sempat mengeluarkan statemen setuju “Referendum untuk Aceh”. Nyatanya, setelah menjadi presiden, ia bersilat ludah. Sebaliknya, Gus Dur berujar bahwa tuntutan referendum Aceh hanya oleh segelintir orang saja, tidak berimbang dengan jumlah penduduk Aceh. Artinya, Gus Dur tidak setuju Referendum Aceh. Tentu saja Gus Dur telah melukai hati orang Aceh saat itu. Belum lagi ia juga sempat mengaku bahwa dirinya adalah “nabi” orang Aceh.
Keempat... (bersambung....)
[Herman RN]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H