Mohon tunggu...
Herman RN
Herman RN Mohon Tunggu... -

Menyukai buku, terutama budaya dan sastra. Masih belajar menulis dan terus belajar serta belajar terus.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

BBM, Kesejahteraan Siapa?

27 November 2014   19:18 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:41 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh Herman RN

JOKO WIDODO dan Jusuf Kalla sudah resmi menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Pro dan kontra muncul. Ada yang mati-matian membenarkan kebijakan Joko-Jeka (Jokowi-JK) menaikkan BBM. Ada pula yang kontra dengan segala alasannya.

Mereka yang pro, mencari alibi ke semua penjuru semisal membanding-bandingkan harga minyak Indonesia dengan luar negeri, mengatakan kenaikan harga BBM dapat mensejahterakan rakyat, dan sejumlah alasan lainnya. Singkatnya, mereka yang pro kebijakan ini mendirikan benang basah untuk memperlihatkan ego politik kepada pihak “lawan”. Lucunya, ada pula sebagian mereka menyalahkan pemerintahan SBY lambat menaikkan harga BBM.

Beberapa dalih yang dilakukan sebagian untuk membenaran harga BBM naik antara lain (1) kenaikan BBM dapat mensejahterakan rakyat kecil, (2) subsidi dari pemerintah sebelumnya tidak tepat sasaran, (3) ada ‘kartu ajib’ dari pemerintah sekarang: Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS), (4) harga minyak di Indonesia paling rendah dibanding negara-negara lain di dunia.

Mungkin ada sejumlah asalan lain untuk membenarkan tindakan pemerintah Joko-Jeka menaikkan harga BBM. Namun, empat alasan di atas saya anggap paling menarik dan sering muncul di media massa. Hanya saja, alasan-alasan itu terkesan sekadar dalih yang dipaksakan. Buktinya, sejauh ini Jokowi belum pernah memaparkan secara transparan pengelolaan dana BBM itu kelak dibawa kemana dan bagaimana mekanismenya.

Empat alasan di atas juga masih dapat dinegasikan dengan empat pertanyaan pula: (1) atas dasar apa kenaikan harga BBM yang berimbas ke semua harga kebutuhan sehari-hari dapat mensejahterakan rakyat? Jika memang kenaikan harga BBM dapat mensejahterakan rakyat, mengapa hanya Rp2000 yang dinaikkan (bukan Rp5000 atau puluhan ribu)? (2) jika BBM subsidi dari pemerintah sebelumnya tidak tepat sasaran, apakah subsidi ke sektor produktif oleh pemerintahan sekarang dijamin tepat sasaran? (3) apakah kartu-kartu ‘ajaib’ itu akan tepat sasaran dan tidak tumpang tindih dengan kebijakan yang serupa selama ini? (4) berapa harga upah minimum di Indonesia sehingga harga minyak mesti dibandingkan dengan harga di negara-negara maju dan berkembang?

Soal ‘kartu ajaib’ ala Jokowi, sejatinya perlu ditinjau ulang. Rakyat tak bisa mendapatkan kartu itu cuma-cuma. Rakyat harus barter kartu tersebut dengan kehilangan subsidi dan kenaikan harga harga kebutuhan sehari-hari. Belum selesai di situ, rakyat juga harus membayar premi untuk kartu ‘aladin’ tersebut. Misalkan saja KIS, rakyat harus bayar premi bulanan selayaknya kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Hal ini menandakan ada tumpang-tindih kebijakan antara KIS dengan JKN atau BPJS. BPJS belum merata, kini pemerintah mengeluarkan KIS dan berbagai jenis kartu lainnya.

Semua tahu kenaikan BBM akan membawa arus naiknya harga bahan pokok. Sebagian orang menganggap kenaikan harga bahan pokok akan menguntungkan rakyat kalangan bawah seperti petani dan nelayan. Mereka lupa, setiap petani belum tentu nelayan. Setiap nelayan belum tentu petani. Naiknya harga cabai, bawang, dan rempah-rempah dapur mungkin menguntungkan petani, tapi tidak sama sekali bagi nelayan. Akhirnya, nelayan terpaksa menaikkan harga ikan yang berimbas pula bagi petani, karena tak mungkin petani cukup makan sayur tanpa ikan. Terjadi siklus tanpa perubahan arus: harga ikan naik menguntungkan nelayan, tapi mereka harus membeli kebutuhan dapur yang makin meninggi.

Jika ini yang terjadi, kesejahteraan rakyat yang diagung-agungkan hanya jalan di tempat. Kartu ‘ajaib’ itu sama sekali tidak dapat menjawab kesengsaraan rakyat atas naiknya harga BBM. Di sisi lain, kartu ‘aladin’ itu belum dibagi, tapi rakyat semua sudah dihadapkan harga minyak melambung, harga bahan pokok meninggi, dan ongkos kendaraan naik berkali lipat. Belum lagi saat mendapatkan kartu itu nanti, rakyat juga harus bayar premi. Lantas, siapa sebenarnya yang sejahtera dengan kenaikan harga BBM?

Cari Solusi

Harusnya pemerintah sekarang mencari solusi yang benar-benar berpihak kepada rakyat, terutama menengah ke bawah. Rakyat jangan dijadikan alat untuk menutupi beban negara. Jika ada yang harus dinaikkan, semestinya pemerintah menaikkan pajak kendaraan mewah dan cukai rokok. Kendaraan mewah jelas menyentuh orang-orang kaya. Cukai rokok menyentuh orang-orang berada. Kalaupun ada orang kelas bawah merokok, itu risiko dia: sudah tahu di bawah garis kemiskinan masih juga merokok. Artinya, menaikkan pajak kendaraan mewah dan cukai rokok lebih tepat tinimbang menaikkan harga BBM.

Menaikkan pajak kendaraan mewah dapat mengurangi jumlah kendaraan yang berdampak mengurangi angka kemacetan. Dengan menaikkan pajak kendaraan mewah pula bangsa ini dapat menghemat penggunaan BBM secara berlebihan. Demikian halnya menaikkan cukai rokok, setidaknya dapat memperkecil angka perokok di negeri ini. Percuma pemerintah memasang iklan “merokok dapat membunuhmu” jika harga rokok sangat terjangkau. Bilamana cukai rokok naik, minimal dapat membuat para pelajar dan siswa berniat meninggalkan atau mengurangi rokok.

Sekali lagi, program dan kebijakan jangan tumpang tindih. Pemerintah mengeluarkan Kartu Indonesia Sehat (KIS), tetapi harga rokok mudah dijangkau. Di mana letak sehatnya? Maka program KIS sama sekali tidak relevan dalam membantu masyarakat di bidang kesehatan. Demikian pula Kartu Indonesia Pintar (KIP). Untuk apa ada KIP jika ongkos angkot ke sekolah naik tiga kali lipat gara-gara naiknya harga BBM? Maka program KIP juga tidak relevan dengan keinginan mempermudah akses ke dunia pendidikan.

Semua tahu bahwa beban negara ini terlalu berat. Utang luar negeri menumpuk. Bukan berarti rakyat kecil jadi sasaran empuk mengatasi semua ini. Kacaunya subsidi BBM sebelumnya bukan salah rakyat, tapi karena masih berkeliarannya ‘tukang sunat’ di negeri ini. Maka, puluhan ribu sekali pun harga BBM dinaikkan, jika dikelola dengan sistem tak jelas dan koruptor masih berkeliaran, tetap rakyat jadi tumbal. Tentu kita tidak mau ada pemeo ke depan “Biarlah BBM dinaikkan, asal presiden diturunkan!

Herman RN cerpenis dan esais.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun