Corporate Social Responsibility ( CSR ) pada masa kini seakan sudah merupakan kewajiban bagi setiap korporasi untuk memperkuat hubungan yang saling menguntungkan secara jangka panjang dengan para stakeholder. Konteks " jangka panjang " disini bermaksud bahwa CSR yang baik harus mampu menjaga keberlanjutan dari hubungan antara korporasi dengan stakeholdernya secara terus -- menerus, tidak terputus oleh karena tujuan -- tujuan jangka pendek salah satu atau kedua belah pihak telah terpenuhi ( misalnya peningkatan profit saja ).
Dari sudut pandang diatas maka sesungguhnya CSR dapat dibagi menjadi 2 sisi, yaitu sisi pemberdayaan dan sisi penguatan. Sisi pemberdayaan adalah sisi yang paling banyak dijalani dalam program CSR.Â
Sisi ini lebih dikenal dengan istilah Community Development alias Comdev atau CD. Biasanya dalam praktek, ada 5 langkah dalam melaksanakan Comdev ini yang dimulai dari perencanaan program, pengenalan sasasaran atau pihak -- pihak yang akan diajak untuk menjalankan program ( seperti tokoh masyarakat atau penggiat lokal ), pelaksanaan program, evaluasi dan pengakhiran program ( dengan harapan implementasi program yang telah berjalan dapat sesuai dengan tujuan awal sehingga masyarakat yang diberdayakan sudah dapat bergerak secara mandiri setelah program berakhir ).
Dalam hubungannya dengan persaingan pasar, masyarakat yang telah diberdayakan melalui CSR tentunya membutuhkan akses pasar yang menjamin keberlanjutan dari manfaat yang mereka terima pasca pengakhiran program comdev tersebut.Â
Untuk itulah maka dibutuhkan sisi CSR yang kedua, yakni sisi penguatan. Sayangnya sisi inilah yang kerap terabaikan sehingga manfaat yang diperoleh selama masa pemberdayaan CSR harus menguap saja. Tidak jarang, masyarakat yang sudah diberdayakan kesulitan memperoleh akses pasar sehingga hasil produksi mereka tidak dapat disalurkan sebagaimana mestinya. Hal ini berlaku juga jika program pemberdayaan CSR-nya terfokus pada program pelatihan keterampilan yang lulusannya tidak memperoleh akses pada pasar tenaga kerja sehingga tetap saja menganggur.
Untuk itu maka sisi penguatan ini sudah saatnya penting untuk dikembangkan. Sisi ini sendiri membutuhkan kerjasama yang erat antar-korporasi sebagai wujud keseriusan mereka dalam mengembangkan CSR secara end-to-end sehingga benar -- benar mampu menjamin keberlanjutan manfaatnya.Â
Kerjasama ini dapat dilaksanakan misalnya melalui pemberian akses bagi produk -- produk pertanian hasil binaan program CSR dari suatu korporasi untuk dapat masuk kedalam jaringan retail milik korporasi lainnya atau peserta didik dari suatu program CSR milik sebuah korporasi dapat diberikan akses untuk bekerja di korporasi lain yang membutuhkan keahlian sesuai dengan fokus pendidikan CSR tersebut.Â
Dapat juga seperti yang dilakukan oleh kerjasama antara Grameen dengan Danone di Bangladesh, yakni berupa pendirian usaha patungan yang fokus pada produksi produk yang terjangkau bagi masyarakat marjinal dengan tenaga -- tenaga kerja yang dapat berasal dari sektor marjinal tersebut tapi dikelola secara profesional sehingga daya saing produk dan pelayanannya tetap terjaga ( dan dengan begitu tidak kehilangan keunggulannya dalam persaingan pasar ).
Untuk melaksanakan kerjasama atau CSR gabungan semacam diatas maka perlu diberdayakan beragam forum kerjasama antar-korporasi semacam Kamar Dagang dan Industri ( KADIN ).Â
Selama ini kerap juga muncul kritik yang menyoroti peranan KADIN yang semakin menyempit dan dengan mengaktifkan KADIN sebagai sarana untuk juga memformulasikan atau menyalurkan implementasi program CSR antar-korporasi yang menjadi anggotanya maka diharapkan KADIN dapat kembali bergairah dalam menunjang peningkatan peran serta anggotanya dalam perekonomian nasional (begitupun juga dengan forum -- forum komunikasi lainnya seperti HIPMI, APINDO, dan lain sebagainya ).Â
Selain itu, pemanfaatn forum -- forum sejenis ini juga akan mempererat hubungan antara korporasi dengan para stakeholder-nya karena dalam formulasi program penguatan maupun implementasinya, para stakeholder juga akan diminta untuk semakin intens dalam berkomunikasi dengan korporasi sehingga kesesuaian pandangan dapat terwujud dan kesalahpahaman dalam menjalankan praktek bisnis dapat diperkecil ( terutama korporasi yang bergerak dibidang usaha pertambangan atau pemanfaatan sumber daya alam yang kerap diselimuti isu lingkungan hidup ).