Mohon tunggu...
Julian Reza
Julian Reza Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Perkembangan Industri Nasional

28 Februari 2018   20:37 Diperbarui: 28 Februari 2018   20:49 1841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Industri nasional merupakan sektor yang menjadi tumpuan dalam meningkatkan daya saing nasional atau dengan kata lain, daya saing nasional akan terlihat melalui proses produksi, distribusi serta cara konsumsi atas produk -- produk yang dihasilkan oleh industri nasional. Di masa kini, setiap negara berlomba -- lomba untuk meningkatkan daya saing produk hasil industrinya agar bisa diterima oleh konsumen dalam dan luar negeri. 

Produk itu kelak diharapkan dapat menghasilkan pengaruh nyata dari negara produsen terhadap negara konsumennya. Pada era 1990-an sampai awal 2000-an, negara seperti Swedia dan Jerman dikenal -- salah satunya -- sebagai produsen peralatan telekomunikasi terkemuka. Merk -- merk seperti Nokia, Siemen dan Motorola merajai pasar Hand Phone dunia saat itu. 

Hand Phone dengan teknologi nirkabelnya mempermudah komunikasi karena mampu dibawa kemana -- mana sehingga penggunanya tidak perlu harus bersikap statis saat nelakukan komunikasi jarak jauh dengan orang lain. Merk -- merk diatas membuat negara seperti Swedia dan Jerman memiliki daya saing dibidang telekomunikasi dan negara lain harus mencari jalan untuk membangun daya saingnya dibidang yang sama untuk mampu merebut pengaruh ekonomi dari kedua negara diatas. 

Ternyata Amerika dan Korea Selatan mampu menunjukkan bahwa dominasi Jerman dan Swedia mampu dipatahkan asal mereka menggali daya saingnya secara mandiri tanpa harus mengekor produk pihak lain. Maka itu dari kedua negara itu muncullah beragam hasil produk industrinya seperti I-Phone, smart phone, I-Pad dan beragam gadget lainnya. 

Kemampuan produk -- produk itu tidak lagi hanya sekedar menjadi sarana telekomunikasi nirkabel belaka, melainkan mampu menjadi sarana untuk mencari informasi, sarana untuk memperoleh hiburan, sarana untuk berbisnis atau bekerja, sarana untuk menyimpan data dan lain -- lain. Daya saing produk inipun muncul dibandingkan Hand Phone biasa dan dengan segera produk ini menyingkirkan produk Hand Phone biasa yang kalah daya saingnya. 

Gadget bukanlah sekedar gendang. Gadget memiliki nilai tambah karena beragam manfaatnya, sedangkan manfaat gendang tidaklah seberagam gadget. Oleh karenanya maka daya saing atas produk hasil industri nasional haruslah yang memiliki nilai tambah sehingga daya saing nasionalnya juga dapat lahir manakala output industri nasional suatu negara dibandingkan dengan output industri nasional dari negara lain. Output siapakah yang paling memiliki pengaruh dan menguasai pasar?

Akan tetapi daya saing bukan hanya sekedar lahir dari negara yang mampu memproduksi sesuatu dengan negara lain yang tidak dapat memproduksi sesuatu tersebut. Daya saing juga lahir diantara negara yang sama -- sama mampu memproduksi sesuatu tapi salah satunya mampu memproduksi dengan kualitas yang lebih baik. 

Dalam contoh hand phone vs smart phone diatas, daya saing hand phone Nokia yang hanya berupa kamera saja tentunya kalah saing dengan produk sejenis dengan fitur tambahan selain kamera, seperti berupa kemampuannya untuk dapat terkoneksi dengan internet dan membuka beragam akses untuk mempermudah kehidupan pemiliknya seperti akses internet untuk melakukan transaksi online atau memperoleh informasi melalui search engine, memiliki fasilitas GPS dan lain -- lain. Kemampuan suatu industri nasional dalam meningkatkan nilai tambah produknya mampu menghasilkan daya saing bagi negara produsennya atas negara lain yang nilai tambah dari produk sejenisnya tidak sebanyak itu. 

Selain itu, output industri nasional bukanlah satu -- satunya bagian dari upaya membangun daya saing nasional. Seperti disebutkan diatas, proses peningkatan daya saing nasional dibangun pada sektor produksi, distribusi dan metode konsumsi dalam industri nasional suatu negara. Hand Phone, Smart Phone, I-pad, I-phone maupun gendang juga harus tetap diproduksi dengan cara yang paling baik untk menjaga kualitas dan harganya. 

Dalam hal ini metode produksi saja tidak cukup, harus dipikirkan tentang bagaimana proses distribusinya antara lain mampu dilakukan dalam jangka waktu yang cepat dan biaya yang rendah. Lalu pola konsumsinya juga dapat memiliki daya saing seperti kemampuan suatu negara untuk membudayakan pola pembelian produk secara online serta metode pembayaran yang bersifat transaksi maya sehingga lebih cepat dan tidak menyulitkan konsumen.

Oleh karenanya maka industri nasional penting untuk diperhatikan sebagai faktor dasar dalam membangun daya saing mengingat tanpanya, suatu negara tidak memiliki bahan untuk meningkatkan daya saingnya.

Kini kembali pada persoalan daya saing Indonesia, industri nasionalnya juga diharapkan mampu meningkatkan daya saingnya agar melaluinya maka daya saing nasional dapat diwujudkan. Untuk itu maka perlu diperhatikan mengenai beberapa hal seperti bagaimana kondisi perindustrian nasional selama ini, sektor industri yang mana yang berdaya saing dan yang mana yang belum memiliki daya saing serta industri apa yang memiliki potensi dimasa depan untuk membantu meningkatkan daya saing nasional.

Menurut menteri perindustrian Ir. Airlangga Hartarto (Airlangga Hartarto, 2016, Merajut Asa, Jakarta: Grasindo ), semenjak era Reformasi kondisi perindustrian Indonesia mengalami stagnasi. Pada era Orde Baru ( terutama periode 1989 -- 1997 ) sektor industri pengolahan tumbuh rata -- rata 11 persen pertahun. 

Pertumbuhan ini lebih tinggi daripada pertumbuhan PDSB tahunan yang berkisar diangka 8 persen. Selain itu kontribusi sektor perindustrian dalam PDB juga meningkat dari 8 persen di awal tahun 1980-an menjadi 21 persen pada awal 1990-an hingga akhirnya mencapai angka 27 persen disaat negeri ini baru masuk kedalam krisis ekonomi pada 1997.

Sekilas pencapaian ini dapat terlihat sebagai sebuah prestasi, tetapi jika diteliti lebih mendalam maka muncul persoalan. Ternyata industri nasional yang tumbuh di era Orde Baru sebagian besar bukanlah industri yang berdaya saing tinggi, melainkan merupakan industri tradisional. Industri tradisional ini dijalankan oleh SDM dengan keahlian yang tidak terlalu tinggi. Oleh karenanya maka menjadi wajar jika produk industri nasional pada jaman itu berkisar dari produk tekstil, garmen, alas kaki, furnitur ( mungkin juga termasuk gendang ), produk kayu, kertas dan produk kertas.

Memasuki era Reformasi, kondisi perindustrian justru semakin parah. Pada periode 1999 -- 2004, pertumbuhan industri pengolahan menurun ke angka 5 persen pertahun kendati angka ini masih lebih tinggi daripada pertumbuhan GDP tahunan pada kurun waktu sama yang hanya tumbuh 4 persen. Akan tetapi penurunan ini bukannya berhenti malah terus berlanjut. Pada periode 2005 -- 2014, pertumbuhan industri pengolahan turun lagi dari 5 persen ke kisaran 4,6 persen.

Penurunan ini juga menjadikan sektor perindustrian mengalami pertumbuhan yang lebih rendah ketimbang GDP yang bisa tumbuh 5,8 persen pertahun pada periode yang sama. Selain itu kontribusi sektor perindustrian bagi PDB juga menurun dari 27 persen pada 1997 dan sempat mencapai rekor tertinggi hampir 30 persen pada tahun 2001 lalu terus  menurun menjadi 23 persen di tahun 2014.

Selain fakta diatas, industri nasional juga mengalami stagnasi dalam kontribusinya terhadap total ekspor.  Hal ini terlihat salah satunya dari fakta bahwa kontribusi sektor perindustrian terhadap total ekspor pada 2014 sebesar 67 persen, tidak jauh berbeda dari keadaan 14 tahun sebelumnya yang memberikan kontribusi 68 persen terhadap total ekspor. 

Sesungguhnya penurunan kontribusi dalam total ekspor tidak hanya dialami oleh sektor perindustrian saja, melainkan juga dialami oleh banyak sektor ekonomi lainnya seperti pertanian dari 4 persen menjadi 3 persen hingga sektor migas yang mengalami penurunan kontribusi paling tinggi, yaitu dari 23 persen pada tahun 2000 menjadi 17 persen pada 2014. 

Adapun satu -- satunya sektor ekonomi yang mengalami peningkatan pada kurunhn waktu yang sama adalah sektor pertambangan dimana kontribusinya meningkat dari 5 persen menjadi 13 persen dalam periode yang sama. Bahkan pada antara 2009 -- 2013, kontribusinya pada total ekspor mencapai rata -- rata 17 persen pertahun walaupun terjadi penurunan kontribusi pertambangan pada 2014 karena adanya ketentuan mengenai penerapa hilirisasi sektor mineral.  

Awalnya diharapkan sektor migas yang kontribusinya menurun dapat digantikan oleh sektor perindustrian, tetapi nyatanya pengganti kontribusi itu justru datang dari sektor pertambangan. Ini berarti ketergantungan negeri ini pada sektor primer atau ekstraksi sumber daya alam masih tinggi. Ketergantungan terhadap industri primer tidaklah baik karena hal ini menjadikan perekonomian sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga -- harga komoditas di pasar internasional.

Ditengah gejala yang oleh beberapa pihak diklaim sebagai "deindustrialisasi " itu, sesungguhnya beberapa industri nasional memiliki daya saing yang baik dan dapat semakin ditingkatkan kalau pemerintah fokus dalam membangunnya. Menurut Prof. A. Erani Yustika ( Yustika, dkk, 2014 ), perindustrian di Indonesia yang memiliki kekuatan terdiri dari empat subsector industri, yaitu subsector peralatan, mesin dan perlengkapan transportasi dimana rata -- rata kontribusinya terhadap total sektor industri mencapai 29,04% selama periode 2005 -- 2009; subsector makanan, minuman dan tembakau dengan rata -- rata kontribusi 25,50% pada periode yang sama; subsector produk pupuk, kimia dan karet ( 12,05% ) dan subsector tekstil, barang dari kulit dan alas kaki ( 10,18% ). 

Secara keseluruhan keempat sektor itu menyumbang sekitar 78% dari total sektor industri. Disini telrihat bahwa industri pengolahan hasil sumebr daya alam ( SDA ) menjadi industri yang cukup dominan mengingat dari empat subsector diatas, tiga diantaranya bergerak dibidang yang terkait dengan SDA ( hanya sektor peralatan, mesin dan perlengkapan transportasi yang tidak terkait langsung dengan SDA ).

Lebih lanjut jika dilihat dari kemampuan ekspornya, prof. Yustika menyatakan bahwa subsector perindustrian Indonesia yang kemampuan ekspornya besar selama ini berasal dari subsector produk mineral, lemak, subsector minyak dan malam; subsector mesin, pesawat mekanik dan elektronik; serta subsector tekstil, barang dari kulit dan alas kaki. 

Terakhir, jika dilihat dari trend pertumbuhan ekspornya, subsector perindustrian yang dianggap memiliki masa depan yang menjanjikan adalah subsector mutiara, batu permata, logam milia dan perhiasan imitasi; subsector lemak, minyak dan malam; subsector produk mineral; subsector kendaraan pesawat terbang, kendaraan dan perlengkapannya; serta subsector plastic, karet dan barang dari plastic dan karet.

Dari pernyataan diatas terlihat bahwa industri permesinan serta tekstil dan sejenisnya memiliki kontribusi yang besar terhadap total sektor industri serta memiliki daya saing dibidang ekspor. Selain itu dari penjabaran diatas juga terlihat bahwa subsector industri yang memiliki kandungan teknologi tinggi ( seperti kendaraan, pesawat terbang, perlangakapannya serta permesinan ) berbarengan dengan subsector pengolahan SDA ( agroindustri ) memiliki kesempatan kuat untuk menjadi dasar bagi pengembangan industri di Indonesia. 

Kedua jenis subsector industri ini harus menjadi fokus utama pengembangan industri nasional mengingat pengaruhnya yang besar dalam pembangunan industri nasional serta kemungkinan pengembangannya dimasa depan yang cukup menjanjikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun