Mohon tunggu...
Julian Reza
Julian Reza Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Money

Perkembangan Industri Nasional

28 Februari 2018   20:37 Diperbarui: 28 Februari 2018   20:49 1841
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Kini kembali pada persoalan daya saing Indonesia, industri nasionalnya juga diharapkan mampu meningkatkan daya saingnya agar melaluinya maka daya saing nasional dapat diwujudkan. Untuk itu maka perlu diperhatikan mengenai beberapa hal seperti bagaimana kondisi perindustrian nasional selama ini, sektor industri yang mana yang berdaya saing dan yang mana yang belum memiliki daya saing serta industri apa yang memiliki potensi dimasa depan untuk membantu meningkatkan daya saing nasional.

Menurut menteri perindustrian Ir. Airlangga Hartarto (Airlangga Hartarto, 2016, Merajut Asa, Jakarta: Grasindo ), semenjak era Reformasi kondisi perindustrian Indonesia mengalami stagnasi. Pada era Orde Baru ( terutama periode 1989 -- 1997 ) sektor industri pengolahan tumbuh rata -- rata 11 persen pertahun. 

Pertumbuhan ini lebih tinggi daripada pertumbuhan PDSB tahunan yang berkisar diangka 8 persen. Selain itu kontribusi sektor perindustrian dalam PDB juga meningkat dari 8 persen di awal tahun 1980-an menjadi 21 persen pada awal 1990-an hingga akhirnya mencapai angka 27 persen disaat negeri ini baru masuk kedalam krisis ekonomi pada 1997.

Sekilas pencapaian ini dapat terlihat sebagai sebuah prestasi, tetapi jika diteliti lebih mendalam maka muncul persoalan. Ternyata industri nasional yang tumbuh di era Orde Baru sebagian besar bukanlah industri yang berdaya saing tinggi, melainkan merupakan industri tradisional. Industri tradisional ini dijalankan oleh SDM dengan keahlian yang tidak terlalu tinggi. Oleh karenanya maka menjadi wajar jika produk industri nasional pada jaman itu berkisar dari produk tekstil, garmen, alas kaki, furnitur ( mungkin juga termasuk gendang ), produk kayu, kertas dan produk kertas.

Memasuki era Reformasi, kondisi perindustrian justru semakin parah. Pada periode 1999 -- 2004, pertumbuhan industri pengolahan menurun ke angka 5 persen pertahun kendati angka ini masih lebih tinggi daripada pertumbuhan GDP tahunan pada kurun waktu sama yang hanya tumbuh 4 persen. Akan tetapi penurunan ini bukannya berhenti malah terus berlanjut. Pada periode 2005 -- 2014, pertumbuhan industri pengolahan turun lagi dari 5 persen ke kisaran 4,6 persen.

Penurunan ini juga menjadikan sektor perindustrian mengalami pertumbuhan yang lebih rendah ketimbang GDP yang bisa tumbuh 5,8 persen pertahun pada periode yang sama. Selain itu kontribusi sektor perindustrian bagi PDB juga menurun dari 27 persen pada 1997 dan sempat mencapai rekor tertinggi hampir 30 persen pada tahun 2001 lalu terus  menurun menjadi 23 persen di tahun 2014.

Selain fakta diatas, industri nasional juga mengalami stagnasi dalam kontribusinya terhadap total ekspor.  Hal ini terlihat salah satunya dari fakta bahwa kontribusi sektor perindustrian terhadap total ekspor pada 2014 sebesar 67 persen, tidak jauh berbeda dari keadaan 14 tahun sebelumnya yang memberikan kontribusi 68 persen terhadap total ekspor. 

Sesungguhnya penurunan kontribusi dalam total ekspor tidak hanya dialami oleh sektor perindustrian saja, melainkan juga dialami oleh banyak sektor ekonomi lainnya seperti pertanian dari 4 persen menjadi 3 persen hingga sektor migas yang mengalami penurunan kontribusi paling tinggi, yaitu dari 23 persen pada tahun 2000 menjadi 17 persen pada 2014. 

Adapun satu -- satunya sektor ekonomi yang mengalami peningkatan pada kurunhn waktu yang sama adalah sektor pertambangan dimana kontribusinya meningkat dari 5 persen menjadi 13 persen dalam periode yang sama. Bahkan pada antara 2009 -- 2013, kontribusinya pada total ekspor mencapai rata -- rata 17 persen pertahun walaupun terjadi penurunan kontribusi pertambangan pada 2014 karena adanya ketentuan mengenai penerapa hilirisasi sektor mineral.  

Awalnya diharapkan sektor migas yang kontribusinya menurun dapat digantikan oleh sektor perindustrian, tetapi nyatanya pengganti kontribusi itu justru datang dari sektor pertambangan. Ini berarti ketergantungan negeri ini pada sektor primer atau ekstraksi sumber daya alam masih tinggi. Ketergantungan terhadap industri primer tidaklah baik karena hal ini menjadikan perekonomian sangat dipengaruhi oleh fluktuasi harga -- harga komoditas di pasar internasional.

Ditengah gejala yang oleh beberapa pihak diklaim sebagai "deindustrialisasi " itu, sesungguhnya beberapa industri nasional memiliki daya saing yang baik dan dapat semakin ditingkatkan kalau pemerintah fokus dalam membangunnya. Menurut Prof. A. Erani Yustika ( Yustika, dkk, 2014 ), perindustrian di Indonesia yang memiliki kekuatan terdiri dari empat subsector industri, yaitu subsector peralatan, mesin dan perlengkapan transportasi dimana rata -- rata kontribusinya terhadap total sektor industri mencapai 29,04% selama periode 2005 -- 2009; subsector makanan, minuman dan tembakau dengan rata -- rata kontribusi 25,50% pada periode yang sama; subsector produk pupuk, kimia dan karet ( 12,05% ) dan subsector tekstil, barang dari kulit dan alas kaki ( 10,18% ). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun