“Aktualitas itu baik dan benar.
Ego menunggu di ujung jalan jika aktualitas dilakukan berlebihan.
Aktivitas blogging telah menjadi sesuatu yang umum, berjalan linear dengan perkembangan penggunaan media sosial semacam Twitter dan Facebook. Orang menjadi bebas merdeka untuk mengutarakan pikirannya dan perasaannya; bahkan untuk hal yang sesungguhnya memalukan untuk dapat dipublikasikan dan dikonsumsi secara publik. Bisa jadi karena angin demokrasi yang membuka banyak portal kebebasan; bisa jadi juga bangsa ini memang terlalu lama dikekang hingga menemui kebebasan dengan begitu histeris. Atau bisa jadi, kita memang terkandung sebagai bangsa bersifat histeris. Saya bukan ingin mengerdilkan siapapun, atau apapun. Pikiran saya selalu terganggu dengan kata ‘aktualisasi’ yang kerap dikutip sebagai cara seseorang menumpahkan pikiran dan perasaannya. Perdebatan panjang dan melelahkan bisa saja dilakukan untuk menilai kadar ‘aktualisasi’ ini; walau kemudian saya yakin tak akan ada resolusi yang dapat menengahi atau sekedar memberikan jawaban sederhana. Diskusi akan bubar dan sekedar menjadi bunga-bunga cerita pengantar tidur. Histeria demokrasi--demikian saya menempelkan sebutannya--secara subyektif pribadi saya temukan berakar pada perdebatan panjang dalam adegan sejarah ‘Polemik Kebudayaan’. Adalah Sutan Takdir Alisjahbana (STA), seorang sastrawan dan budayawan yang karyanya diberedel oleh Soekarno yang membuka diskursus wacana publik tentang arah dan arus pembentukan kepribadian bangsa di tengah-tengah terbukanya portal kebebasan. Dalam tulisannya di media Pujangga Baru, 2 Agustus 1935, dengan tajuk ‘Menuju Masyarakat dan Kebudayaan Baru: Indonesia-Pra Indonesia’, Sutan memberikan pandangan dikotomis antara jaman Pra-Indonesia yang berlangsung hingga akhir abad 19 dan jaman Indonesia Baru yang dimulai pada awal abad 20. STA memberikan pernyataan bahwa Indonesia muncul di awal abad 20, dan sedianya Indonesia harus ber-integrasi dengan cara pandang dunia saat itu--dalam hal ini Barat. Kemudian Sanusi Pane, sastrawan di awal era kebangkitan Indonesia, mencoba menghadang pemikiran Sutan dengan mengupayakan “MenyatukanFaust dan Arjuna, memesrakan materialisme,intellectualismedan individulisme dengan spiritualisme, perasaan dan collectivisme". Poerbatjaraka, penulis yang memiliki akar kuat dalam tradisi Jawa turut ambil bagian menghadang pemikiran Sutan, dengan mengatakan, “Janganlah mabuk kebudayaan kuno tetapi jangan mabuk ke-Barat-an juga; ketahuilah dua-duanya itu supaya kita bisa memakainya dengan selamat di dalam hari yang akan datang kelak." ‘Polemik Kebudayaan’ dari STA ini yang kemudian disebut-sebut memberikan inspirasi kepada gerakan Surat Kepercayaan Gelanggang, yang kemudian dikenal sebagai Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Perseteruan Manikebu dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang memiliki afiliasi yang kuat terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) berada di seputar hubungan ideologis antara kebudayaan dan praktik kekuasaan. Lekra sangat dekat dengan semboyan ‘Seni untuk Rakyat’, sementara Manikebu justru menginginkan seni tumbuh dalam kreatifitas yang tidak terkungkung politik. Orang kemudian banyak menyebut semboyan Manikebu sebagai ‘Sastra untuk Sastra’. Sekali lagi, saya bukan ingin menemukan kesalahan dan atau melakukan pembenaran. Ini adalah diskursus publik yang sungguh panjang dan melelahkan. Sebagai bagian dari infrastruktur penulisan dan mode menuangkan pikiran, pantas sebenarnya blogging dan media sosial hari ini disebut sebagai bentuk kesusastraan kita hari ini. Penyebutan sastra lumpur di era 70-an yang kemudian muncul lagi di era 90-an boleh kembali dikutip, atau apapun sebutannya. Boleh juga perdebatan digelar dengan topik seputar kulit, bentuk dan eksistensi media. Tapi toh, ia sudah mewarnai peradaban kita, ke-Indonesia-an hari ini. Integrasi yang digadang-gadang STA itu sudah terjadi. Saya masih ingat, ketika beberapa tahun lalu saat saya bersama beberapa sahabat mencoba peruntungan dengan mengirimkan tulisan dan cerpen ke media cetak nasional, ada sebuah upaya ilmiah yang dilakukan dalam penulisan itu; bahkan untuk sebuah cerpen. Sebagian besar ditolak, hanya satu atau dua yang dimuat. Tapi proses penulisan itu melibatkan kelima panca indera kami, dan bahkan melalui berbagai diskusi di kamar kos hingga larut malam. Hingga akhirnya kami tak bisa menghindari lagi, blogging adalah salah satu sarana. Tak ada kurasi (baca: mafia editor) di sana, dan penilaian serta interaksi dapat langsung terjadi antara penulis dan pembaca. Dimulailah babak baru sarana penulisan kepada publik bagi kami. Apa yang terjadi pada saya sesungguhnya juga terjadi pada sebagian besar mereka yang akrab dengan alat komunikasi. Pena telah digantikan tuts; kata pembuka surat ‘Yang Terhormat’ telah digantikan ‘Dear...’; dan bahkan makian tercela tertampilkan secara telanjang bulat tanpa editan. Lebih dari 50% penggunaan bahasa di media sosial menunjukkan teknik 'Bahasa Inggeris asal tempel'. Belum lagi, akrab dengan blogging berarti harus mengerti bahasa pemograman ala Visual Basic, Cascading Style Sheet (CSS), HyperText Markup Language (HTML) atau Really Simple Syndication (RSS) yang tentunya membutuhkan penguasaan Bahasa Inggris. Jadi, benarkah saya—dan kami—telah menjadi penerus generasi ‘Zaman Indonesia Baru’ milik Sutan Takdir Alisjahbana itu? Dimana letak bahasa tradisi dan bahasa ibu seperti yang disebut Pane sebagai bahasa berkonsepsikan "spiritualisme, perasaan dan collectivisme"? Lagi, ini bisa menjadi diskusi yang panjang dan melelahkan. Saya belum memiliki jawaban pasti, kecuali kesetiaan saya kepada setiap kata yang mewakili makna dan perasaannya sendiri. (Japos, 16/10/2014) Tulisan ini telah dimuat secara sepihak dalam blog saya dengan judul "Ber-Media Tanpa Sabuk Pengaman, Sebuah Tulisan Pembuka".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H