[caption id="" align="alignleft" width="252" caption="ilustrasi : bappenas.go.id"][/caption] Menjadi bagian dari sebuah birokrasi pemerintahan, berarti anda siap mengikuti semua peraturan dan ketentuan yang berlaku dalam birokrasi tersebut. Dan segala ketentuan itu tentu saja mengatur mengenai kewajiban anda sebagai pegawai pemerintah, dan diikuti hak yang anda miliki, sebagai 'hadiah' dari pemerintah. Dan salah satu hal yang menjadi hak dari pegawai adalah hak untuk memiliki cuti.
Cuti yang dimiliki pegawai terdiri dari berbagai jenis. Mulai dari cuti tahunan, cuti besar, cuti karena alasan penting dan lainnya. Setiap cuti memiliki syarat dan ketentuan yang mengatur, sehingga hak cuti tersebut dapat dimiliki pegawai, setelah si pegawai melaksanakan ketentuan tersebut.
Yang menjadi isu terbesar saat ini untuk beberapa golongan pegawai adalah cuti tahunan. Menurut pemahaman saya yang masih baru di dunia birokrasi ini, cuti tahunan adalah hak cuti pegawai yang diberikan secara reguler sebanyak 12 hari setiap tahunnya, dan dapat diakumulasikan jika tidak diambil dalam tahun berjalan. Pemahaman lebih lanjut, tentu para senior di pemerintahan lebih memahami ini.
Namun lucunya, cuti tahunan yang katanya adalah sebuah HAK dari pegawai, masih harus disunat dengan yang dinamakan cuti bersama. Sebagaimana diketahui, cuti bersama adalah hari dimana pegawai harus libur dan memotong "jatah" cuti mereka, dikarenakan pertimbangan pemerintah pusat, dalam hal ini Menko Kesra.
Untuk tahun 2012 ini, cuti bersama sebelumnya ditetapkan sebanyak 5 hari kerja. Namun karena berbagai pertimbangan, cuti bersama akhirnya direvisi menjadi 6 hari kerja. Praktis jatah cuti tahunan pegawai disunat menjadi 6 hari dalam 1 tahun di 2012 ini.
Menurut Menko Kesra, keputusan penetapan cuti bersama diambil dikarenakan banyak pegawai yang tidak pernah mengambil jatah cuti mereka. Dan penetapan cuti bersama membuat banyak pegawai berlibur, sehingga menambah pemasukan pariwisata dalam negeri.
Namun pernahkan pemerintah di atas sana berfikir ada alasan tertentu mengapa pegawai tidak mengambil cuti mereka. Atau apakah mereka tahu, bahwa untuk sebagian pegawai, cuti adalah sebuah hal yang begitu berharganya, sehingga mereka 'berhemat' dalam menggunakannya.
Untuk saya, dan hampir sebagian besar rekan saya di satu instansi yang sama, cuti adalah hal yang sangat kami hargai. Posisi kami sebagai Pegawai Pemerintah Pusat, membuat kami mengabdi di setiap penjuru nusantara. Dan untuk itu, tak sedikit dari kami harus rela jauh dari anak istri dan keluarga. Dan untuk dapat bertemu mereka, maka jatah cuti tahunan itulah harapan kami.
Bayangkan, dalam setahun, kami diberi 12 hak untuk membuat hari cuti. Namun diluar itu, hak kami masih harus disunat 6 hari dengan alasan yang sangat konyol dan menggelikan. Mungkin bagi mereka, atau para pejabat, yang dekat dengan keluarga, cuti bersama dapat dipergunakan untuk berwisata. Namun bagi pegawai biasa yang jauh, bahkan sangat jauh dari keluarga, libur cuti bersama yang paling banyak 3 hari itu hanya habis untuk diperjalanan menuju ke kampung halaman saja. Belum lagi lonjakan harga tiket yang tak terbendung dimoment cuti bersama.
Jika memang hari yang dimaksud oleh para pejabat itu adalah hari kejepit, atau dekat dengan hari raya, kenapa tidak dibuat saja hari libur. Dengan begitu, jatah cuti pegawai tidak tersenggol kepentingan mereka.
Dengan begitu banyaknya birokrasi untuk mengambil hak, dan tentu saja pemotongan hak secara sepihak oleh para pembuat keputusan terkait masalah cuti pegawai ini, masih layakkah Cuti tahunan pegawai itu disebut sebagai HAK?