Mohon tunggu...
Yudho Pedyanto
Yudho Pedyanto Mohon Tunggu... -

Nothing for now...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Toyota Royal Saloon, Peugeot 504, dan Level 5 Leadership

5 Januari 2010   07:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:37 338
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sungguh, pembelian mobil dinas menteri yang ditaksir seharga 1,3 M adalah sesuatu yang sangat keterlaluan dan kelewat batas. Apa sih susahnya naik mobil yang tidak mewah-mewah amat. Apalagi hanya untuk pulang pergi ke kantor saja. Apakah kalau naik mobil yang jauh lebih murah punggung Pak Menteri yang terhormat jadi pegal-pegal? Apakah ini hanya untuk prestise dan simbol negara semata? Apa artinya semuanya tadi ditengah jutaan rakyat yang hidup miskin dan melarat, yang sebahagiannya tinggal di kolong-kolong jembatan kumuh yang dilewati mobil mewah Pak Menteri tadi.

Terlebih bagi pejabat yang muslim, mereka seharusnya ingat bahwa kekuasaan itu adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Segala kebijakan dan keputusan harus diselaraskan dengan segenap ketentuan dan syariah-Nya. Sikap yang berlebih-lebihan dan bermewah-mewahan, jelas bertentangan dengan Islam. Apalagi jika yang melakukan itu adalah para pemimpin dan pejabat, yang sejatinya adalah pelayan rakyat. Anehnya, tidak sedikit menteri yang berasal dari partai-partai Islam, namun sikap mereka nampaknya kurang mencerminkan ajaran Islam itu sendiri. Bahkan ada seorang menteri dari partai Islam yang mengatakan mobil seharga 1,3 M itu nggak terlalu wah banget. Lebih jauh menteri tersebut menekankan untuk simbol-simbol negara, menggunakan uang negara untuk membeli mobil yang bagus semestinya tidak dipersoalkan. "Nggak ada masalah, toh uangnya ada kan?" (Vivanews, 04/01/2010).

Padahal, hidup sederhana tidak hanya tertuang secara normatif, namun memiliki tradisi yang mengakar kuat dalam sejarah:

Ketika Yerusalem masuk dalam pangkuan Islam, penguasa Kristen Yerusalem mengajukan syarat bahwa penyerahan kota Yerusalem hanya akan dilakukan langsung kepada pemimpin tertinggi Islam, yang waktu itu dijabat oleh Khalifah Uman bin Khaththab (634-644 M). Maka dikirimlah undangan ke Madinah agar Khalifah Umar berkenan datang ke Yerusalem untuk menerima penyerahan kota suci dari Uskup Agung Sophorius dan Panglima Romawi Timur Artavon.
Untuk itu dikirim pasukan protocol untuk menjemput dan mengawal Khalifah Umar, sebagaimana tradisi penguasa Romawi. Tetapi dengan gusar Khalifah Umar menolak pasukan pengiring yang mewah itu. Khalifah memilih perjalanan pribadi dengan mengendarai seekor unta berwarna merah dan hanya ditemani dengan seorang sahaya. Bahkan perbekalan yang dibawa khalifah adalah sebagaimana perbekalan orang biasa berpergian jauh, yaitu sekarung gandum, sekantung kurma, sebuah piring kayu, sebuah kantong air kulit dan selembar tikar shalat. Sedikitpun tidak ada tanda-tanda bahwa ia adalah seorang penguasa tertinggi dari negara adi daya dunia yang tengah pasang. Ia bersama seorang pembantu pribadinya menempuh perjalanan sebagaimana orang-orang awam menempuh perjalanan.
Tiba di perbatasan Palestina, Panglima Besar Ubaidah al-Jarrah dan para jenderalnya menyambut Khalifah dengan pakaian kebesaran yang megah, mewah terbuat dari ragam sutera. Khalifah menunjukkan kemurkaannya menyaksikan perubahan penampilan para panglimanya itu. Khalifah meraup pasir dan melempari kostum mereka dengan pasir. Khalifah Umar menolak kuda dan pakaian kebesaran yang disiapkan Panglima Ubaidah baginya. Khalifah Umar tetap memilih mengendarai unta merahnya dan sama sekali tidak merubah penampilannya hingga tiba di depan gerbang utama Stepanus. Para pembesar Yerusalem begitu terkejut dengan penampilan yang demikian sederhana dari seorang Khalifah Islam yang memimpin kawasan terluas di dunia pada waktu itu. Tetapi pemimpin yang bergelar Amirul Mukminin dalam kesederhanaannya itu memancarkan keagungan seorang pemimpin besar dan keluhuran seorang asketis yang mendekati kesucian seorang Nabi.


Kisah kesederhanaan Umar di atas terdengar seperti dongeng? Tidak juga. Tidak sedikit kisah-kisah seperti ini muncul di abad 21 sekarang. Para pemimpin politik, tokoh masyarakat, bahkan banyak CEO (ya CEO! Dimana hidup mewah adalah sebuah kelaziman), yang MEMILIH untuk hidup sederhana, sekali pun mereka mampu untuk bermewah-mewah. Semuanya adalah soal pilihan. Jim Collins dalam buku riset bisnisnya yang fenomenal, Good to Great, mengungkapkan salah satu faktor utama yang menentukan sebuah institusi (bisnis atau sosial) mencapai sebuah keberhasilan luar biasa, adalah sikap para pemimpinnya. Collins menyebutnya "Level 5 Leadership", sebuah perpaduan antara kesederhanaan dan profesionalisme tangan dingin, blend between humble and fearless, sebagai common denominator dari institusi-institusi sukses. Sebaliknya dari hasil riset yang sama, ditemukan bahwa institusi-institusi yang gagal, para pemimpinnya ternyata dipimpin oleh ego pribadi yang berlebihan, salah satunya nampak dari sikap bermewah-mewah.

Dalam dunia politik kita tentu ingat Ahmadinejad. Sosok pemimpin yang sekalipun tidak 100% bebas dari kontroversi dan kesalahan, setidaknya mampu menunjukkan spirit kesederhanaan dari ajaran Islam. Bagi mereka yang ngotot soal simbol negara perlu belajar dari Ahmadinejad yang menyumbangkan karpet Istana Presiden berkualitas tinggi ke sebuah masjid di Teheran. Ia lalu mengganti karpet istana dengan karpet murah. Ia juga menutup ruangan kedatangan tamu VIP karena dinilai terlalu besar dan meminta sekretariat istana mengganti dengan ruangan sederhana berisi kursi kayu. Dibawah kepemimpinan Ahmadinejad, setiap menteri yang diangkat selalu menandatangani perjanjian dengan banyak ketentuan, yang ditekankan adalah agar setiap menteri tetap hidup sederhana. Ahmadinejad tidak hanya pandai bicara, ia memberikan contoh nyata. Harta yang dimiliki diantaranya adalah mobil Peugeot 504 buatan tahun 1977, dan sebuah rumah kecil warisan ayahnya 40 tahun lalu yang terletak di salah satu daerah miskin di Teheran. Rekening tabungannya nol dan penghasilan yang diterima hanyalah gaji sebagai dosen sebesar kurang dari Rp 2.500.000 (US$ 250).

Kebijakan pembelian mobil mewah ini jelas zhalim dan tidak boleh didiamkan. Hal ini menambah daftar panjang kesalahan fatal yang berkali-kali terjadi, apakah itu cincin emas cinderamata dewan seharga 5 M, atau skandal elit tingkat tinggi ala Century Gate, hanya untuk menyebut beberapa diantaranya. Sehingga cukup bagi kita untuk mengatakan, secara personal ataupun institusional, rezim yang ada sekarang tidak bisa diharapkan sama sekali untuk mengantarkan Indonesia yang lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun