Mohon tunggu...
AHMAD MUNIR
AHMAD MUNIR Mohon Tunggu... Freelancer - Pemerhati Lingkungan Hidup

Perhatian manusia terhadap lingkungan begitu rendah. Pembangunan yang dilakukan di banyak negara, termasuk Indonesia, lebih banyak mengejar target pembangunan dalam aspek - membangun dengan mengkonversi lahan, dari tutupan vegetasi ke lahan terbangun. Definisi ini telah membuat manusia sendiri rugi dalam menentukan kualitas hidup dan kehidupannya. Kiranya, kita perlu menelaah kembali untuk menghentikan membangun dengan arti demikian.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Kalimat Langka, Bijak Memanfaatkan Sumber Daya

9 Desember 2019   07:12 Diperbarui: 9 Desember 2019   07:13 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Era kini, manusia memanfaatkan teknologi, untuk menduplikasi dunia nyata pada dunia maya. Tiap individu berlomba menampilkan estetika dan eksistensi dunianya. Mulai dari dunia fashion, kuliner, life style, dan profesi sekalipun, digunakan untuk memanjakan mata di jagad maya. Jagad maya memang menyediakan ruang itu, bagi generasi yang dimanja sosial media. Sehingga seluruh sumber daya dioptimalkan untuk menunjukkan eksistensi di jagad sosial media.

Hal yang kontra pada sisi yang lain, bumi sedang menghadapi ancaman serius, akibat dari peningkatan konsentrasi karbondioksida (CO2) di atmosfer bumi, akibat dari penggunaan bahan bakar fosil dan bahan karbon lainnya, yang mengakumulasi gas rumah kaca di atmosfer bumi kita. Indikasi kuat, bumi kita mengalami kenaikan rata-rata suhu, yang sering kita sebut pemanasan global, yang dalam jangka panjang berpotensi memicu perubahan iklim global.

Pertemuan-pertemuan berskala global, yang menunjukkan komitmen seluruh elemen pada pencegahan perubahan iklim di bumi dilangsungkan. Bahkan antar negara ikut meratifikasi kesepakatan bersama, untuk komitmen mitigasi perubahan iklim. Sayangnya, kesadaran ini tidak menjadi kesadaran masal, yang kolektif, yang merasuki seluruh elemen, sehingga partisipasi tiap individu atas kesadaran untuk memecahkan masalah ini secara bersama belum tercipta.

Kembali pada eksistensi di Jagad Sosial Media, yang semua orang berlomba untuk tampil eksis di dalamnya. Ada beberapa hal, yang perlu menjadi perhatian bersama. Pertama, alat pemenuhan eksistensi individu di jagad sosial media, kadang dipaksakan ada dengan segenap daya. Misalnya, untuk sekedar eksis pada event tertentu, orang pada ahirnya memaksakan diri mencari tempat yang lebih "instagramable" misalnya, sehingga membutuhkan perpindahan dan energi, untuk sampai pada lokasi yang dituju. Itu sudah memberi sumbangan pada peningkatan karbon dioksida.

Kedua, jagad media sosial dipenuhi aktivitas, yang tidak berpihak pada penghematan sumber daya dan efisiensi energi. Orang cenderung mencari lokasi, yang lebih enak untuk sekedar selfie, sementara penampilan dengan gaya natural, cenderung dihindari. Ini bermakna mengadakan sumber daya baru, untuk menampilkan ruang dalam konsep yang dikehendaki.

Kritik kita pada individu yang condong memanfaatkan jagad sosial media, dengan memanfaatkan sumber daya berlebihan, tentu tidak sejalan dengan agenda efisiensi sumber daya. Pola dan gaya hidup tiap orang, sedapat mungkin menghemat sumber daya, agar polusi udara, tanah, dan air tidak terjadi berlebihan. Ini semua untuk mendukung kelangsungan hidup bersama.

Upaya mencegah pemanasan global memang harus menghadapi pemborosan, keserakahan, dan pemanfaatan sumber daya yang berlebihan, apalagi didorong oleh kondisi yang menuntut eksistensi di jagad sosial media. Jelas sebuah agenda, yang harus dihindari. Berjagad sosial media, hendaknya juga bersikap efisien pada sumber daya, dan berupaya sedapat mungkin, tidak memicu sumber pencemaran udara untuk atmosfer kita secara berlebihan. Kita ingin udara segara, untuk kelangsungan hidup anak cucu.

Tantangan ke depan, pada saat manusia sudah menghadapi situasi, di mana kenaikan suhu bumi sudah pada fase 1,10 Celcius, padahal agenda global mensepakati untuk memastikan bumi tidak mengalami kenaikan suhu sampai 20 Celcius adalah upaya yang berat. Beberapa peneliti bahkan memprediksi anak-anak yang lahir era kini, akan menghadapi kenaikan suhu mencapai 40 Celcius pada usia 70-an tahun. Dapat dibayangkan, apa yang akan terjadi jika kenaikan suhu rata-rata bumi mencapai 40 Celcius dari saat sekarang.

Proyeksi ancaman itu demikian tampak. Tanpa analisis ilmiah yang dalam, orang sudah mulai merasakan betapa tidak nyamanya manusia, pada saat listrik padam. Untuk padam hanya beberapa jam saja, manusia sudah mengeluh dengan berbagai situasi dan kondisi yang ada. Ini fakta yang saat ini kita hadapi, namun kesadaran untuk mencegahnya belum muncul. Fakta ini masih dianggap biasa, oleh sebagian kalangan.

Bijak memanfaatkan sumber daya adalah salah satu kunci. Misalnya menghemat energi, untuk mengurangi konsumsi bahan bakar fosil di pembangkit listrik. Hemat memanfaatkan plastic, agar tidak muncul sampah berlebihan, yang dapat memicu gas methana yang berlebihan pula. Hemat air, agar konsumsi daya listrik untuk air tidak meningkat. Hemat memanfaatkan alat transportasi pribadi, agar terjadi penghematan BBM secara masal. Dan segudang aktivitas lain, yang menunjukkan partisipasi kita, mencegah pemanasan global terjadi di bumi.

Tentu, pilihan sikap bijak memanfaatkan sumber daya adalah pilihan berat. Terutama bayangan kita bagi orang-orang yang memiliki uang cukup, yang dapat membeli apa saja yang diinginkan. Tentu berat, misalnya tidak memanfaatkan mobil pribadi pada saat berangkat kerja, tidak menggunakan bungkus plastik dan sedotan ketika memesan makanan dan minuman, tidak menghidupkan AC pada ruangan jika tidak digunakan, dan segudang perilaku lain, yang menunjukkan kita pro-pencegahan pemanasan global.

Keyakinan kita, bahwa semua akan baik-baik saja (business as usually) harus kita revisi. Kita perlu tinjau ulang, dengan membandingkan kondisi pada saat listrik mati, pada saat air di sumur susut volumenya, pada saat di mana-mana muncul bau tidak sedap akibat sampah, di mana-mana air tercemar, di mana-mana orang merasa tidak nyaman dengan suhu siang hari di luar Gedung perkantoran.

Ini yang harus mulai kita bayangkan dan kita sadari. Alam tidak akan menolak hukumnya, bahwa hukum alam sedang berlangsung. Keserakahan pada pemanfaatan sumber daya jelas harus dihentikan, sebagai pilihan sikap dan kesadaran yang utuh pada diri tiap warga bumi. Semua demi kelestarian dan keberlanjutan bumi dan penghuninya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun