Mohon tunggu...
Pedro Indharto
Pedro Indharto Mohon Tunggu... -

Reserch and Humans Activity

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gelar Budaya Aceh Jogja Papua untuk Kemanusiaan

2 Maret 2015   06:00 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:18 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagelaran Budaya Poros Istimewa Jogja, Aceh dan Papua yang dikemas dengan pesta rakyat mendapat sambutan yang luar biasa dari masyarakat Jogja, hal ini terlihat dari besarnya antusias kehadiran warga dan partisipasi masyarakat setempat menyukseskan kegiatan ini.
Melebur menjadi satu tanpa memandang perbedaan daerah asal maupun warna kulit merupakan gambaran nyata dari penyelenggaraan pagelaran budaya poros istimewa, dimulai dari persiapan acara, sehari sebelum pelaksanaan kegiatan, warga Terban Jogja berduyun-duyun datang ke lokasi kegiatan bekerja bhakti menyiapkan tempat kegiatan.
Bale Gading Aceh yang biasanya hanya digunakan oleh warga Aceh di Jogja mendadak terbuka dan ramai dipenuhi warga Jogja dan Papua. Sore hari setelah sholat Ashar, dentuman gamelan Jathilan berkumandang di halaman bale Gading, kerumunan masyarakat sekitar lokasi berdatangan memadati halaman, sekitar 2 Jam para penari Jathilan menari dan kerasukan. Mahasiswa Aceh yang kesehariannya Islami melebur dikerumunan warga, meskipun terkadang ada perasaan takut ketika dihampiri penari Jathilan yang kerasukan. Bagi mahasiswa Aceh, Kerasukan mahluk dari alam lain bukan menjadi hal yang biasa karna didaerahnya jarang ditemukan hal tersebut dan baru pertama ini komunitas Aceh di perantauan turut serta menyelenggarakan kesenian yang berbau mistis/di anggap musrik. Kelompok pemuda Papua ketika melihat Jathilan merasa tertarik dan berharap besar kedepan bisa bekerja sama dengan kelompok Jathilan dari warga Terban mengkolaborasikan kesenian tari Yosphan dan Jathilan untuk dipentaskan menjadi satu cerita.
Pagelaran Jathilan yang diangkat oleh warga Terban, Jogjakarta memberi pengalaman nyata bagi kedua kelompok Papua dan Aceh. Masyarakat Jogja dan para penonton Jathilan pada sore itu dimanjakan dengan menyeduh kopi hangat khas Aceh, Peulet (makanan ringan Aceh). Kaum muda Papua memasak dan membagikan Papeda secara langsung kepada para masyarakat sekitar yang menyaksikan acara, tidak kurang dari 20 menit Papeda dengan kuah kuning yang dibuat kaum muda Papua laris disantap oleh warga. Merupakan pengalaman pertama bagi banyak warga Jogja bisa menikmati Papeda secara langsung.
Malam hari setelah pelaksanaan sholat Magrib, kegiatan pagelaran budaya Poros Istimewa dimulai kembali dengan bertambahnya stand batu mulia Aceh, disini banyak warga dan para mahasiswa yang hanya melihat-lihat dan bertanya-tanya saja seputar kelebihan dan keindahan batu Giok Aceh, tanpa ada yang berani menawar. Pagelaran kesenian kembali dibuka dengan pembacaan puisi oleh saudara Igbal dari Aceh dengan puisi “orang-orang miskin” karya WS. Rendra. Setelah itu acara dilanjutkan dengan pertunjukan tari Yosphan dari komunitas Papua, tarian ini berasal dari daerah Biak yang berkisah tentang pasangan remaja yang sedang jatuh cinta. Pertunjukan tarian Yosphan ini memukau banyak orang untuk menyaksikan, halaman pertunjukan sudah dipadati oleh sekitar 400 orang dan di luar pagar halaman Bale Gading juga dipenuhi penonton. Masing-masing kelompok Papua dan Aceh pada malam pagelaran banyak mengeluarkan jaringan kelompok mahasiswa dari daerahnya.
Orasi kebudayaan oleh perwakilan Aceh mengetengahkan tentang sejarah Aceh yang suku-sukunya tersatukan oleh kekuatan Agama Islam, dimana Islam telah menyatukan suku Gayo, Kleut, Singkil dan lainnya menjadi satu kekuatan yang bernama Aceh. Bantuan kemanusiaan pada saat Tsunami tahun 2004 membuat Aceh semakin terbuka, rasa kemanusiaan telah merubuhkan perbedaan suku dan agama.
Orasi kebudayaan oleh perwakilan Papua, bung Igo mengetengahkan tentang kebudayaan Papua dari setiap jengkal tanah yang ada di Papua merupakan tanah yang dikuasai 7 adat Papua dengan penanda patok sebuah Pulau, setiap warga Papua tau batas-batas kewilayahan dari sukunya, selama ini tidak ada yang namanya konflik karna perebutan tanah. Orang Papua tidak mempunyai kebudayaan mencuri, dan orang Papua menganggap bahwa perang suku adalah adat, dimana nyawa harus dibayar dengan nyawa, dalam perang adat tidak boleh menyakiti perempuan dan anak. Biasanya kaum perempuan akan menjadi penengah untuk menghentikan perang suku. Orang Papua juga sering mendapat perlakuan diskriminasi tapi kami tidak menyelesaikan itu dengan perang suku. Pertemuan antara warga Jogja dan warga Papua, Aceh dengan pagelaran kebudayaan seperti pada malam hari ini, bisa menjadi jembatan agar prilaku diskriminasi tidak lagi terjadi.
Orasi kebudayaan dari bung Hersumpana, tokoh budayawan Jogja menguraikan tentang adanya persamaan Jogja, Papua dan Aceh bahwa kita sama-sama suka makan sirih pinang dan duduk beralaskan tikar pandan. Jogja rumah bersama haruslah diwujudkan dengan cara-cara kebudayaan karna melalui budaya material (kesenian) perbedaan yang selama ini dipermasalahkan akan segera cair, dalam kesenian ada keindahan yang bisa diterima oleh setiap manusia tidak pandang dia tau bahasanya atau tidak. Terakhir mari bersama-sama menyanyikan lagu Tikar Pandannya Wiji Thukul, ajak bung Her.
Sanggar anak Kampung Indonesia mengajak cinta tanah air dengan menampilkan music perkusi dengan lagu Laskar Pelangi dan Soleram. Penampilan perkusi ini dikemas dengan cara yang sederhana oleh sekumpulan remaja dengan usia dibawah 15 tahun. Para penonton yang hadirpun turut serta bersama-sama menyanyikan laskar pelangi.
Tari Leukok Pulau / Pulau Nasi merupakan tarian Aceh yang dibawakan oleh 15 penari laki-laki dengan gerak yang sangat dinamis, tarian ini menceritakan tentang kesuburan di Pulau Aceh. Meskipun banyak penonton yang tidak mengerti bahasa Aceh tapi mereka merasa terhibur dan dibuat merinding dengan penampilan tari Aceh tersebut, sungguh kekayaan budaya Nusantara membuat kita bangga akan keberadaanya, terang mas Joko, sang pemandu acara.
Acara berakhir pada pukul 22.00 WIB yang ditutup dengan penampilan tarian khas Papua “Tumbuk tanah” tarian ini merupakan tarian kebahagian warga Papua ketika lamaran/pinangan nikah diterima oleh kedua mempelai, para penonton yang menyaksikan tarian ini banyak yang turut serta ikut menari, pemuda Aceh, Jogja, Papua bersama-sama menarikan Tumbuk tanah.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun