Pengantar
Baru-baru ini, pada 25 April 2024, STF Driyarkara menggelar Pekan Kelas Terbuka secara online melalui akun Youtube yang dibawakan oleh Prof. Franz Magnis Suseno dengan tema: "Peran Orang Muda dalam Kancah Politik Secara Etis." Hal yang menarik dari diskusi ini, seorang audiens bertanya kepada pemateri bahwa, apakah ada orang yang peduli dengan permasalahan kaum muda sekarang dan dapatkah mereka menjadi 'mentor' bagi kaum muda untuk berpolitik secara etis?
 Dari pertanyaan ini mengartikan bahwa, persoalan paling mendasar yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia adalah sikap 'ketidakpedulian' pada persoalan-persoalan etis. Munculnya sikap 'apatis' ini tidak hanya dialami oleh kaum muda yang sulit untuk menjadi mentor bagi dirinya sendiri (self-mentor), tetapi juga dialami golongan tua yang 'seharusnya' menjadi panutan dan teladan bagi kaum muda. Selain itu, pertanyaan ini memprovokasi 'setiap orang', baik golongan tua maupun kaum muda untuk terlibat dalam pembentukan generasi muda yang melek etika.
Dalam horizon yang 'sama', pemahaman mengenai dengan etika politik dalam konteks Negara Republik Indonesia, cenderung 'berujung' rancu. Ketika politik disejajarkan dengan etika, maka pemilik etika politik adalah golongan tua. Tesis ini berkembang dari klaim yang menyatakan bahwa, kaum muda 'bukanlah' pemilik sekaligus agen etika dalam berpolitik; kaum muda sering dianggap tidak berkompeten dalam urusan-urusan politik, bahkan sering dinilai kurang beretika. Penilaian seperti ini tentu beralasan 'kuat' pada kenyataan kaum muda di zaman sekarang ini, sehingga klaim semacam ini dapat diterima sebagai kritik terhadap 'kaum muda' yang di satu sisi, cenderung mengabaikan persoalan etis dalam politik Bangsa.
Di sisi lain, perlu untuk 'menolak' distingsi pragmatis semacam ini yang berdampak buruk bagi perkembangan mentalitas anak muda. Artinya, jika kaum muda diklaim sebagai golongan yang tidak beretika dan tidak mempunyai kompetensi dalam bidang politik, maka 'klaim' tersebut menjadi racun terbesar bagi anak muda dan dengan demikian, anak muda hanya menjadi sub-ordinasi politis dari golongan tua. Penilaian seperti ini pertama-tama dipahami sebagai bentuk diskriminasi berkedok golongan
Oleh karena itu, sangat penting untuk mendalami pemikiran Nicolaus Driyarkara, karena di samping memahami filsafat Barat yang pelik untuk menyelesaikan persoalan dalam konteks Indonesia, filsafat Indonesia (filsafat kita) yang digagas oleh Driyarkara, mempunyai basis faktum (spatio dan tempus) yang menyejarah dan berakar dengan citra 'lokalitas' ke-Indonesiaan, sehingga melalui lensa filosofis Driyarkara, dapat dilacak status, peran dan kedudukan kaum muda dalam kancah politik secara etis.
Filsafat Driyarkara adalah Filsafat 'kita'
Nicolaus Driyarkara adalah seorang 'filsuf' berkebangsaan Indonesia yang lahir di Jawa Tengah, lereng Pegunungan Menoreh pada, 13 Juni 1913 (Driyarkara, 2006) Ia menamatkan Pendidikan doktoral Filsafatnya di Universitas Gregoriana pada tahun 1953. Sebagai seorang akademisi, ia banyak menulis di berbagai 'media', dalam hal ini majalah, surat kabar dan lain sebagainya. Salah satu karyanya yang terkenal berjudul "Percikan Filsafat" merupakan karangan-karangan singkat yang ditulis antara tahun 1958-1961. Di sisi lain, kiprahnya di dunia politik mengarahkan fokus pandangannya pada isu-isu sosial, etika, kebudayaan, pemahaman mendasar mengenai manusia dan secara spesifik, pemikirannya tentang ideologi Pancasila yang amat 'urgen.' Pemikiran filosofisnya yang 'kritis' dan mampu menyentuh 'citra' manusia di Indonesia merupakan hasil elaborasi pemikiran Filsafat Barat yang dikontekstualisasikan dalam situasi sosio-kultural Bangsa Indonesia. Dengan demikian, Driyarkara adalah 'jembatan' yang menghubungkan filsafat Barat dan 'filsafat Indonesia', sekaligus menjadi promotor dalam menanamkan kesadaran etis bagi orang-orang Indonesia.
Filsafat Driyarkara adalah Filsafat 'kita' merupakan interpretasi 'lanjutan' yang bertolak dari peran Driyarkara sebagai upaya penanaman nilai-nilai moral bagi kaum muda di masa kini dan masa yang akan datang. Arti dari 'filsafat kita' pertama-tama dipahami secara filosofis. Kata 'kita' merupakan bias dari 'aku' yang berpersona dan 'aku' (yang lain) yang juga berpersona. Dalam Semiotika, 'kita' bersifat plural majesty yang dapat diterjemahkan kedalam konteks ini, sebagai metafor 'pemersatu bangsa.' Sebagaimana dalam deklarasi Sumpah Pemuda, para kaum muda menggunakan rumusan 'kita' atau 'kami' sebagai gambaran adanya ide dan hasrat untuk bersatu dalam bingkai kemajemukan bangsa. Maka, dimensi sosial yang dibangun bagi kaum muda berdasarkan pemahaman tentang 'kita' adalah bangsa atau nation. Kebangsaan Indonesia, merupakan bentuk integral dari setiap kebudayaan lokal dan sub-kebudayaan lokal. Dengan ini, 'kita' yang dimaksud menolak gagasan-gagasan 'sempit' dan ide-ide primordial yang merumuskan 'kita' dalam kalkulasi matematis berdasarkan skala-skala pembedaan yang berbau SARA.
Perihal "Etika Politik" dan Agen-Agennya
Pembicaraan soal etika dan politik merupakan dua unsur yang bersifat dualis, sekaligus komplementer. Dua sifat ini sebenarnya sudah menjadi polemik terbesar dalam arus Sejarah politik yang berbenturan satu sama lain. Dalam konteks Yunani Kuno, etika dan politik disejajarkan dalam kerangka untuk membangun kehidupan yang baik good life. Asumsi demikian mempunyai basis analisis yang berakar dalam ide-ide klasik, Plato dan Aristoteles.
Sepertinya, Plato menyamakan 'dua' unsur ini dalam idenya tentang the philosopher king (Sunarso, 2015:3). Penekanan pokoknya, 'filsuf adalah raja karena filsuf itu bijaksana.' Kata 'bijaksana' dalam konteks Yunani Kuno bersifat alegoris dan menjadi titik 'multi-interpretatif' yang dapat diterjemahkan kedalam setiap konteks 'kebudayaan' Indonesia sebagai 'etika' dan 'moralitas.' Dapat diasumsikan bahwa, etika politik dalam paham Yunani Kuno, secara khusus yang digagas oleh Plato dan Aristoteles, 'seolah-olah' mengabaikan prinsip kemanusiaan universal yang meliputi keseluruhan golongan (terlepas dari pertimbangan usia, profesi dan lain sebagainya), sehingga 'golongan' Aristokrat mendapat 'sejumlah' privelese dalam Polis.
Sebagai kritik terhadap konsep etika politik yang digagas oleh Plato dan Aristoteles yang berpeluang menciptakan 'tirani kekuasaan' berbasis golongan, maka perlu dipahami apa itu etika politik, dan apakah etika dan moralitas hanya dimiliki oleh golongan aristokrat. Pengertian mengenai Etika-Politik harus dijelaskan dari dua 'sudut pandang', mengingat kedua-duanya mencakup bidang-bidang studi yang independen. Kata etika berasal dari kata dalam bahasa Yunani, "ethos", yang berarti kebiasaan, tingkah laku, karakter yang meliputi keseluruhan perilaku manusia (Dewantara, 2017:22). Menurut Franz Magnis Suseno, Etika dibedakan dengan ajaran moral. Baginya, etika merupakan pemikiran kritis dan mendasar mengenai ajaran-ajaran moral dan karena itu, etika adalah sebuah disiplin ilmu (Gunadi, 2017:22).
Sedangkan, kata politik secara etimologis berasal dari bahasa Yunani, "politeia" yang berakar pada kata "polis" (Pureklolon, 2020:80). Dalam artian ini, politik mencakup aktivitas dalam suatu negara. Oleh karena itu, etika politik dipahami sebagai upaya pembentukan karakter politikus yang bertanggungjawab, adil, menghargai perbedaan, menjunjung martabat manusia dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang universal.
Lebih lanjut, pertanyaan mengenai dengan, siapa pemilik etika politik atau siapa agen tika politik merupakan pertanyaan provokatif yang penting diutarakan untuk menjawab kondisi sosio-politik saat ini. Pertanyaan ini memberikan ruang diskursus secara luas dengan menolak asumsi bahwa, politik secara etis 'hanya boleh ditunggangi oleh' golongan tua. Driyarakara dalam karyanya, menjelaskan secara filososfis-konseptual tentang manusia dan dunia, bahwa pada dasarnya kesusilaan melekat dalam kodrat manusia (Driyarkara, 2006:533). Selain itu, ia juga memberikan penekanan tentang manusia sebagai "persona" dan juga sebagai "personisasi" yang berarti, manusia sebagai pribadi terus berproses dalam hidupnya untuk mencapai tujuan "penyempurnaan" kepribadiannya (Driyarkara, 2006:12). Dengan demikian, baik kaum muda maupun golongan tua adalah manusia yang melekat dengan kesusilaan. Mereka juga adalah "persona" dan "personisasi" (baik golongan tua maupun kaum muda adalah pribadi yang sedang mengejar penyempurnaan 'karakter' secara etis). Pada akhirnya, baik golongan tua maupun kaum muda adalah pemilik etika politik, sekaligus agen etika-politik yang hidup berdampingan satu sama
Siapa Itu Orang Muda, dan Bagaimana Nasib Mereka Kedepannya?
Pertanyaan ini mempunyai rujukan jawaban yang beragam. Secara psikologis, jawaban yang diberikan berdasarkan UU No.40/2009, pasal 1, tentang kepemudaan, rentan usia kaum muda terletak antara 16-30 tahun (Widhyharto, 2014:143). Ini merupakan gambaran dan jawaban psikologis, tentang usia orang-orang yang digolongkan dalam kaum muda. Selain itu, psikologi juga menjelaskan bahwa, usia selama rentang antara 16-30 tahun, adalah usia produktif.
Terlepas dari pemahaman psikologis, pertanyaan tersebut, jika ditarik dalam konteks peradaban Bangsa Indonesia, maka kaum muda dapat dipahami secara multi-dimensional. Klasifikasi ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Parker dan Nilan dalam Azca, pada tahun 2013; Widhyharto dan Sutopo pada tahun 2014, yang menyatakan bahwa: konstruk pemahaman yang dibangun tentang kaum muda tidaklah sama dari waktu ke waktu.(Widhyharto, 2014:143). Karena itu, Kaum Muda Indonesia dapat dipahami dari tiga dimensi:
Pertama, kaum muda dalam dimensi past. Sejarah menjelaskan bahwa, kaum muda adalah orang-orang dipenuhi dengan ide-ide revolusioner yang berparadigma republik, berusaha untuk memperjuangkan Bangsa Indonesia agar keluar dari 'jurang' kolonialisme dan Imperialisme Belanda. Sebagai bukti, peran pemuda sebagai tonggak awal kemerdekaan ditandai dengan berdirinya Organisasi Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908 (Heri, 2015:87). Sejarah juga mencatat peran kaum muda dalam kancah politik, ditandai dengan peristiwa Sumpah Pemuda. Berhubungan dengan itu pula, imajinasi 'kebangsaan Indonesia' lahir dari kesadaran akan adanya persatuan ditengah kemajemukan Bangsa, baik secara, sosial, geografis, kultural, maupun sub-sub kultur dan lain sebagainya. Selain itu, kaum muda Indonesia secara historis melambangkan revolusioner Bangsa Indonesia; gerakan mahasiswa yang menduduki Gedung MPR/DPR, pada bulan Mei 1998 yang pada akhirnya mengguling 'kekuasaan' otoritarian berwajah totaliter di era Orde Baru dan membuka peluang dalam reformasi politik (Budiardjo, 2013:133).
Kedua, dimensi present. Siapakah orang muda dalam dimensi waktu 'present'? pertanyaan ini merepresentasikan 'keadaan' kaum muda di zaman sekarang. Secara eksistensial-riil, kaum muda zaman sekarang dipahami sebagai golongan yang apatis, apolitis, immoral dan lain sebagainya. Kaum muda di zaman sering dilihat sebagai 'warga kosmopolis' yang tidak peduli terhadap isu-isu politik yang sedang mengancam kedaulatan Bangsa. Bahkan, Imajinasi 'kebangsaan' dan nasionalisme sering dilihat oleh kaum muda sebagai kata-kata 'hampa' yang tidak mempunyai 'muatan' nasionalisme kebangsaan. Kaum muda menjadi gambaran problematis bangsa Indonesia di masa kini: misalnya, menguatnya radikalisme, intoleran, yang menyebabkan disintegrasi Bangsa. Kaum muda di zaman sekarang sedang terjajah oleh paham-paham anti-nasionalis, apatisme. Secara singkat, kaum muda di zaman ini adalah gambaran problematika bangsa dan politik yang imoral.
Ketiga, kaum muda di masa depan (young generation on the future). Imajinasi terhadap nasib kaum muda di masa depan menjadi agenda dunia pedagogik saat ini. Artinya, perlu untuk menata kembali, memberikan kesadaran bagi kaum muda di zaman sekarang agar mampu mewariskan kepada generasi-generasi masa depan 'wajah etika' dan praktik politik yang benar-benar berakar dalam etika Bangsa. Pancasila sebagai sumber etika Bangsa harus benar-benar dipahami (tidak hanya dihafal) dan diaplikasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Untuk itu, Driyarkara dalam pandangan filosofisnya tentang peran dan fungsi Pendidikan menegaskan bahwa, Pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia. Secara filosofis dan konseptual, paradigma Pendidikan baginya, adalah homonisasi dan humanisasi (Driyarkara, 2006:373). Selain itu, ia juga menjelaskan bahwa, Pendidikan harus berakar dalam kepribadian nasional. Hal ini ditegaskan olehnya dalam sebuah karangan yang dimuat di majalah Pusara, jilid XXII, No. 2, Desember 1960 (Driyarkara, 2006:321). Konsep Pendidikan yang berdasar pada identitas Bangsa dijelaskan oleh Driyarkara berakar pada serat Wulang Reh dan Wedatama.Â
Dalam pemahaman lebih lanut, Driyarkara kemudian mengerucut pada pembahasan soal Pancasila sebagai kepribadian Bangsa. Ia menjelaskan dalam karangannya yang dimuat dalam Majalah "Hidup Katolik", Edisi 5 juni tahun 1966, bahwa Pancasila adalah ideologi bangsa yang mengarahkan kehidupan Bangsa (Driyarkara, 2006:881). Dengan demikian, wawasan etika bangsa Indonesia mengakar pada Pancasila. Dan karena itu, Pancasila menjadi sumber refleksi etika Bangsa yang dapat membawa keluar kaum muda dari jurang politik immoral.
Penutup
Tulisan sederhana ini tidak mampu memuat secara keseluruhan pemikiran filosofis Driyarkara, namun melalui konsepnya tentang persona dan personisasi, kaum muda dapat menemukan kembali jati dirinya sebagai manusia yang beretika. Selain itu, melalui konsepnya tentang tentang hominisasi dan humanjsasi, kaum muda dapat berproses melalui dunia Pendidikan untuk mempelajari etika sebagai ilmu; mereka juga dapat menemukan nilai-nilai moral dalam wejangan Pancasila dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Daftar Pustaka
Budiardjo, Miriam. 2013. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Dewantara, Agustinus W. 2017. Filsafat Moral Pergumulan Etis Keseharian Hidup Manusia. Yogyakarta: PT Kanisius.
Driyarkara. 2006. KARYA LENGKAP DRIYARKARA Esai-Esai Filsafat Pemikir Yang Terlibat Penuh Dalam Perjuangan Bangsanya. ed. dkk A. Sudiardja. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Gunadi, Ipel. 2017. "Konsep Etika Menurut Franz Magnis Suseno." UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY. https://repository.ar-raniry.ac.id/id/eprint/9807/1/PDF DIGABUNG KESELURUNAN ISI.pdf.
Heri, Jon. 2015. "PERAN PEMUDA DALAM PEMBANGUNAN POLITIK HUKUM DI INDONESIA." NURANI 15(1).
Pureklolon, Thomas Tokan. 2020. "PANCASILA SEBAGAI ETIKA POLITIK DAN HUKUM NEGARA INDONESIA." Law Review 20(1).
Sunarso. 2015. Membedah Demokrasi (Sejarah, Konsep, Dan Lmplementasinya Di Indonesia). ed. Ibnu Santoso. Yogyakarta,: UNY Press.
Widhyharto, Derajad S. 2014. "Kebangkitan Kaum Muda Dan Media Baru." Jurnal Studi Pemuda 3(2). https://journal.ugm.ac.id/jurnalpemuda/article/viewFile/32030/19354.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H