Pendahuluan
Perkembangan teknologi mutakhir yang diusahakan dari masa ke masa (selama empat periode revolusi industry), telah membawa banyak perkembangan yang signifikan. Dalam hal ini, teknologi digital telah membuka ‘ruang’ berbasis Cyber yang memungkinkan konektivitas antara manusia yang satu dan manusia yang lain dalam lajur jangkauan yang sangat luas. Sejalan dengan itu, dengan paradigma yang dibangun dalam sistem Cyber tingkat aksebilitas semakin tinggi dan membuka peluang yang besar bagi masyarakat untuk menyatakan partisipasinya dalam kancah politik. Di sisi lain, ruang siber seolah-olah membuka kembali selubung ‘kebebasaan’ asali manusia; kebebasan ‘seolah-olah’ diradikalisasikan, akibat dari sistem Cyber yang tidak menjamin ‘adanya’ kerangka norma, tidak ada batasan dalam ruang (spatio) dan waktu (tempus), sehingga ruang siber tidak dapat menjamin adanya partisipasi politik yang benar-benar menceriminkan citra res publika dan demokratis.
Berhubungan dengan itu, Indonesia pernah menggelar gerakan politik ‘maya’ dan solidarisasi sosial, sebagaimana nyata dalam gerakan Satu Juta Facebookers untuk mendukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto. Selain itu, muncul aktivisme online kelas menengah mengangkat masalah korupsi sebagai isu penting yang harus diatasi; melalui media sosial, “Gerakan 1 Juta Pendukung KPK” bertujuan untuk mendobrak kemapanan Korupsi dan berbagai bentuk kriminalisasi lain (Jati, 2016: 34). Kedua gerakan ini menjadi parameter sederhana, bahwa ruang siber dapat menjadi locus berpolitik di era sekarang dan kita adalah aktor dalam ruang siber yang disebut sebagai ‘warganet’ dan oleh Hardiman sebagai disebut sebagai homo digitalis.
Namun, ‘ruang siber’ di Indonesia juga pernah menjadi ruang kompetesi ‘tidak sehat’ yang mencakupi semua bentuk ujaran kebencian (hate speech) dan pembeberan kebohongan, serta penggiringan opini secara massa yang membajak kemapanan sistem demokrasi. Budi Hardiman dalam karyanya telah meramal secara komprehensif dampak-dampaknya. Ia mengemukakan bahwa, homo digitalis yang notabene terikat dalam sistem Cyber dengan segala tawarannya membuka ‘kebebasan’ sekaligus ‘brutalitas’ (Hardiman 2021). Mengikuti pembahasan Hardiman, konteks ‘brutalitas’ dalam Cyberspace dapat ditemui dalam konteks berdigital setiap hari. Akhirnya, kebebasan berkelindan dengan kekuasaan, kepentingan personal berkelindan dengan partisipasi politik dan menjadi cara pandang baru bagi masyarakat. di sinilah letak terjadinya pergeseran paradigma berpikir mengenai dengan makna ‘partisipasi politik’.
Ada sebuah penelitian yang relevan dengan konteks pembahasan dalam tulisan ini. Sebagaimana, Wasisto Raharjo Jati, dalam artikelnya yang berjudul: ‘Cyberspace’ Internet, Dan Ruang Publik Baru: Aktivisme ‘Online’ Politik Kelas Menengah Indonesia. membahas tentang Cyberspace sebagai ruang publik baru bagi kelas menengah Indonesia. Ia kemudian tiba pada kesimpulan bahwa, ruang siber membuka arena ruang publik baru bagi masyarakat kelas menengah dalam mengejawantahkan nilai-nilai luhur demokrasi; di dalamnya, dijamin deliberasi yang meliputi voluntarisme, egalitarian dan partisipatorisme (Jati, 2016:25-35).
Berdasarkan latar belakang persoalan dan hasil tinjauan literatur, tulisan ini membahas tentang partisipasi politik dalam ruang siber dan bagaimana dampak-dampaknya bagi kemapanan politik. Sebagai elaborasi, tulisan ini menampilkan kritik republikanisme terhadap model partisipasi politik dalam Cyberspace. Kritik etika republikanisme terhadap model partisipasi politik dalam ruang siber (paradigma dan persoalan yang disebabkan olehnya) bertujuan untuk menjadikan ruang siber sebagai locus berpolitik baru yang benar-benar demokratis.
Tulisan ini sangat relevan dalam konteks sekarang, secara khusus dalam upaya memahami model-model partisipasi politik yang benar-benar demokratis. Selain itu, tulisan ini juga mengangkat tema-tema yang aktual dan kontekstual, berhubung kita akan memasuki fase Pilkada 2024, yang tentunya tidak luput dari persoalan-persoalan tersebut.
Paradigma Ruang Siber (Cyberspace)
Ruang Siber (Cyberspace) adalah bukti nyata pergeseran dari realitas fisik ke realitas virtual. Ruang siber dimediasi oleh teknologi digital untuk mengkonstruksikan ‘ruang baru’ yang dapat diakses oleh setiap orang (pengguna teknologi). Institusi Ruang Siber yang menjamin kelangsungan konstruk ruang ‘baru’ adalah ‘jaringan’ internet itu sendiri. Istilah ruang siber ini dipopulerkan oleh William Gibson, dalam novelnya yang berjudul Neuromancer pada tahun 1984 dan terdiri dari dua kata, yakni Cybernetics dan space. Menurut Stefan Fenz, sebagaimana dikutib oleh Jery Indrawan, ruang siber adalah sebuah metafora untuk menjelaskan wilayah atau medan yang tidak ada secara nyata dan yang diciptakan oleh sistem komputer (Indrawan 2019). Betapapun, Fenz menekankan bahwa, Cyberspace ‘hanyalah’ sebuah metafor, namun dalam konteks ‘hari ini’, Cyberspace benar-benar menjadi ‘ruang baru’, ruang hunian bagi komunitas maya (cybercommunity). Dengan pemahaman seperti ini, manusia dapat diklasifikasikan kedalam dua komunitas: komunitas negara yang metafor pemersatu adalah imajinasi kebangsaan (nation) dan komunitas maya yang metafor pemersatunya adalah imajinasi maya atau yang didefinisikan oleh Jean Baudliard dengan sebutan ‘hiper reality’ atau realitas lain (Saumantri & Zikrillah, 2020:252). Asumsi ini bertolak dari kenyataan, bagaimana terjadinya perubahan paradigma berpikir; dari realitas fisik ke realitas virtual, dari bentuk komunikasi corporeal menjadi incorporeal dan sebagainya. Selain itu, asumsi ini juga bertolak dari makna perubahan evolusioner manusia, sebagaimana diungkapkan oleh Rafael Capuro yang kemudian dielaborasi oleh Hardiman; pergeseran dari homo sapiens ke homo digitalis. Dengan demikian, apakah layak kita menerima terminologi ini (Cyberspace) secara metaforik, ataukah secara literal, lantaran pikiran (mindset) kita telah ‘dicuri’ oleh sistem tersebut dan kita telah menjadi anggota warganet?
Bertolak dari pertanyaan tersebut, ada beberapa paradigma berpikir dalam ruang siber yang menggambarkan pergeseran paradigma tentang fungsi dan kedudukan Cyberspace: pertama, ruang siber sebagai ‘ruang kebebasan dan aksebilitas’. Sebagaimana, telah dijelaskan pada bagian introduksi, ruang siber adalah ‘ruang’ yang di dalamnya, tidak ada batas antara ruang (secara fisik) dan waktu; ruang siber adalah juga merupakan ‘ruang’ yang di dalamnya, tidak ada hukum yang berlaku secara konvensional. Artinya, orang dapat mengakses internet untuk tujuan apa saja (Internet of Things), di mana saja dan kapan saja tanpa diatur dan dikontrol oleh hukum. Memang, setiap pengguna (user), terikat dengan kebijakan-kebijakan dalam ruang siber (Cyberpolicy), namun kebijakan itu lebih bersifat (teknis penggunaan) dan tidak bisa membatasi manusia untuk mengakses informasi secara lebih luas.
Kedua, paradigma ‘konektivitas dan semua untuk semua’. Ruang Siber diciptakan untuk menghubungkan manusia yang satu dan manusia yanga lain. Dalam horizon yang sama, ruang Siber berupaya untuk menghubungkan manusia secara massa, tak terbatas dan sedapat mungkin bagi sebanyak mungkin orang. Informasi-informasi diproduksi dan direproduksi dalam ruang Siber bertujuan untuk menjangkiti sebanyak mungkin orang. Karena itu, jika kebahagiaan dapat diukur dengan trend ‘menggunakan piranti digital’ (Ruang Siber), maka paham utilitarian: the greatest happy for the greatest number menjadi relevan. Dalam hubungan dengan itu (konektivitas), ruang siber juga adalah ruang gema (echo chamber) dan digemakan oleh para buzzer untuk menjangkiti sebanyak mungkin orang dalam ruang tersebut.