“Daren Aghata, peri kehancuran.” Sebuah tangan terulur pada Ninda. Takut-takut ia memandanginya. Enggan membalas. “Aku tak menggigit,” tambah Daren sembari tersenyum mengejek. Ninda merasa tersindir. Ia meraih kasar tangan itu.
“Ninda Camila, pelajar.” Tawa Daren meledak. “Bukan hal lucu untuk ditertawakan!” Ninda tersinggung dengan tawa Daren.
“Baiklah, aku akan serius sekarang,” tutur Daren. Raut wajahnya berubah seketika. “Kau tertarik menjadi peri?” tawarnya.
“Apa?” Ninda menarik tangannya. Pandangannya menyelidik. “Kau itu apa?” Ninda seolah baru tersadar bahwa sosok di depannya bukan manusia.
“Peri kehancuran, menghancurkan apa saja yang kusentuh.” Ninda bergidik ngeri mendengarnya. Ia memandang telapk tangannya. Masih utuh. Perasaannya lega.
“Tenang, aku bisa mengendalikan diri.” Daren seolah tahu apa yang Ninda pikirkan.
“Lalu apa maumu?” ketus Ninda.
Daren melenggang melewatinya. Langkah yang ringan dan anggun. Tangannya terangkat membelai batang pohon cemara di sisi kanannya. “Menawari sesuatu yang kau inginkan,” tuturnya. Ninda membalikkan badan. Memandang punggung kekar Daren. Dua pasang kelopak hitam menggantung sempurna.
“Maksudmu?” Ninda masih belum dapat menangkap jelas ucapan Daren.
“Barter!”
***