Mohon tunggu...
Pecandu Sastra
Pecandu Sastra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jurnalis dan Penulis

.

Selanjutnya

Tutup

Trip

Tiga Puluh Jam Bersama Habibana

4 Maret 2023   10:16 Diperbarui: 4 Maret 2023   10:57 1964
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Habib Soleh Assegaf, Habib Musthofa bin Usman bin Yahya, dan Habib Hamid Al-Kaff (dari kiri ke kanan)

Jum'at itu menjadi pembuka perjalanan yang mengesankan. Nabastala biru menghampar semesta sore, perlahan mulai memudar. Segera usai berdzikir aku telah bersiap menemani Abah dan jamaah memenuhi undangan majelis peringatan Isra' Mi'raj di salah satu desa di bagian Bogor Timur.

Abah, demikian aku memanggil laki-laki yang tengah berusia 50 tahun itu. Seorang pendakwah yang begitu istiqomah, gigih, penyabar, dan sangat mencintai ilmu.

Beberapa bulan belakang, aku kerap menemani beliau berdakwah di desa tersebut, sepekan sekali. Tak peduli gerimis, hujan, dingin, ataupun panasnya cuaca, lelah setelah beraktivitas sekalipun, beliau terus istiqomah tanpa absen. Kecuali uzur yang mendesak. Hal tersebut yang menjadi salah satu yang aku kagumi dari sosok Abah.

Sore itu, rombongan dijadwalkan berangkat sebelum maghrib. Dikarenakan perjalanan yang cukup memakan waktu, apalagi hari kerja, jam-jam segitu adalah puncak macetnya lalu lintas. Orang-orang lalu-lalang setelah seharian beraktivitas. Aku tidak ikut gabung bersama rombongan kali itu, Abah meminta agar aku menemani pihak panitia guna menjemput Habaib (guru beliau) yang dijadwalkan mengisi ta'lim malam itu. Biasanya, kalau berangkat selalu bareng Abah dan rombongan. Sebab Abah yang memerintah, aku sami'na wa athona dengan beliau.

Singkat cerita, setelah kurang lebih tiga puluh menit menembus padatnya lalu lintas, kami pun tiba di kediaman Habib Musthofa. Karena waktu maghrib telah berjalan dan awan hitam kian mengebul di langit Citeureup, aku dan pihak panitia segera bersuci-mendirikan shalat di pelataran majelis milik Habib. Selepas itu kita berbincang sebentar dan bergegas melanjutkan perjalanan.

Hujan deras tepat turun setelah kami menunaikan shalat maghrib. Karena perjalanan akan menempuh waktu dua hingga tiga jam, kami pun bergegas berangkat. Rintik hujan kian deras melepas kerinduan di bumi Citereup, aku berbisik pada Bang Obay, apakah di mobil ada payung, sayangnya tidak! Sembari berpikir mencari solusi, aku bergegas menuju parkiran-mengangkut barang-barang yang akan dibawa. Sesekali memerhatikan rumah warga sekitar. Namun sepi yang didapat, semua tertutup rapi. Lagi pula belum tentu ada yang mau membukakan pintu untukku, apalagi meminjamkan payung. Selain cuaca yang hujan, juga aku kan orang asing (bukan penduduk setempat).

Seketika hatiku berdesir, menangis, air mata jatuh tak terasa bersama rintik hujan, melihat pemandangan yang mencekam ulu hati. Bagaimana tidak, beliau (para habib) basah kuyup menebas hujan yang deras menuju parkiran. Hatiku bergeming; Ya Rabb, maafkan aku, aku bersalah, telah membiarkan guruku kehujanan. Keturunan kekasihMu basah kuyup. Maafkan aku Ya Rabb. Segera aku bergegas menghampiri Habib, mengambil tas yang beliau bawa dan membukakan pintu mobil. Tidak peduli deras hujan kian membasahi tubuh, jika Habib basah kuyup, aku pun harus lebih.

Perjalanan malam ditemani dingin dan derasnya hujan. Membuat tubuh gigil dan mengundang kantuk. Aku berusaha terjaga. Sekira pukul dua puluh dua waktu Indonesia bagian barat,kami tiba di Desa Nameng, istirahat melepas penat sejenak di kediaman Bang Joni (shohibul wilayah) sembari menikmati kudapan, menghangatkan badan.  

Lantunan sholawat Tolaal Badru menggema diiringi tabuhan hadrah menyambut kedatangan yang mulia, Habibana Musthofa dan rombongan. Aku ikut mengiring di bagian belakang. 

Usai menyampaikan mauidatul khasanah, Habib dan rombongan kembali ke rumah shohibul wilayah, santapan jasmani dan bincang-bincang. Tidak begitu banyak hal yang aku tangkap dari materi yang beliau sampaikan, karena penyampaian lebih banyak memakai bahasa daerah; Sunda. Di mana aku hanya mengerti sangat-sangat sedikit, lebih banyak tidak mengertinya. Doaku selalu; semoga Allah memberikan pemahaman kepadaku terhadap yang baik-baik. Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun