Â
Puncak peringatan hari lahir ke satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) atau 100 tahun NU dalam hitungan hijriyah yang digelar di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Timur telah usai dan berhasil diselenggarakan dengan sukses dan meriah. Rangkaian demi rangkaian acara diadakan, dari; istighosah dan doa bersama, ziarah kubur, muktamar pemikiran, sarasehan, sholawat bersama, ijazah kubro, hingga pameran seni dan budaya.
Jutaan umat, Nahdliyyin dari berbagai penjuru Nusantara berbondong-bondong memadati tanah Sidoarjo, Jawa Timur. Dari kalangan remaja, hingga sesepuh tak kalah semangatnya. Semua ingin hadir dan ingin mendapatkan barokah dari para muazzis dan pendiri NU, para Habaib, Kiai, dan ulama-ulama NU.
Banyak cerita yang terukir dalam momen perjalanan menuju Satu Abad NU, terlebih bagi diriku. Jauh sebelum hari (H) puncak peringatan, sudah tertanam niat untuk bisa hadir secara langsung di Sidoarjo. Ada rasa tersendiri yang tidak bisa diungkapkan meski dengan satu-dua kata, bukan perihal jalan-jalan, maupun untuk cuci mata, bukan juga sebagai pelarian dari penatnya kehidupan.
Saya mengenal NU sejak tiga pekan pasca mengakhiri masa sulit (ujian kehidupan) ujian nasional di bangku SMA dengan seragam putih abu-abu. Dan, baru dengan resmi secara struktural menjadi bagian darinya, tujuh bulan setelah secara tersurat melepas masa menengah atas.
Bagi saya, NU adalah bagian yang tidak bisa dilepaskan dari diri, bukan fanatik, lebih kepada membawa keberkahan bagi diri. Karena berdasarkan beberapa kata ulama, sesuatu yang berkah itu ialah bertambah-tambahnya kebaikan pada diri kita. Jadi, bisa saya katakan NU itu membawa berkah.
Saya tegaskan kembali, saya tidak fanatik dengan NU. Hanya sebagai syukur dan terima kasih. Melalui NU Allah menuntun saya, sekiranya begitu. Sebab, sejak saya mengenal NU, yang tadinya jarang shalat-jadi suka shalat, meski masih sering menunda dan bolong-bolong (doain ya, supaya Allah kasih hidayah, taufik, dan inayahNya selalu, agar lebih baik ibadah saya, pun kawan semua, Aamiin). Sebelumnya, saya tidak mengenal dunia pesantren, yang saya tahu ya pesantren itu sekolah agama, tidak lebih dari itu. Tahunya orang yang ceramah itu, ya ustadz. Ternyata luas ya, diriku yang bodoh memang. Semoga Allah senantiasa menuntut ke jalan kebenaran.Â
Selain itu pula, saya jadi tahu Habaib. Ternyata Habaib itu keturunannya Baginda Nabi Muhammad SAW. Habib yang pertama kali saya kenal itu, Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf, ini pun saya mengenal dari lantunan shalawat yang kerap diputar dan didengarkan oleh Papa (orang tua angkat, sekaligus guru jurnalistik). Dari sini tumbuh pula rasa cinta, kagum, dan suka saya pada Habib dan sholawat. Dulu mah, sukanya pop, rock, dangdut, boro-boro sholawat, tahunya lagu religi aja.Â
Saya senang dengan santri, pondok pesantren. Melihat mereka yang masih kecil-kecil, masyaAllah banget dah. Bersyukur banget. Meski saya bukan dari kalangan pesantren, masih ada rasa cinta saya kepada pesantren. Jadi suka hadir dan duduk di majelis-majelis, ikut dzikiran, sholawatan, dan ta'lim.Â
Jadi, kalau saya harus meninggalkan NU dengan alasan framing yang 'buruk' bagi orang yang tidak suka dengan NU, ya nggak mungkin dong. Kan sudah jelas dampak baik dari NU bagi saya. Kita sudah dewasa, sudah mengerti mana yang baik dan tidak, ambil baiknya dan tinggalkan yang buruk. Pintar-pintar lah kita memfilternya.Â