Mohon tunggu...
Pecandu Sastra
Pecandu Sastra Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jurnalis dan Penulis

.

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

Kritik Sosial hingga Potret Kehidupan dalam Cerpen

11 Februari 2023   09:48 Diperbarui: 11 Februari 2023   09:51 466
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Review Antologi Cerita Pendek (Cerpen) "Berapa harga nyawa hari ini?"

Apa yang terlintas dibenak para pembaca budiman ketika membaca judul dari buku satu ini? Aku pribadi menerka, jika buku ini semacam investigasi yang dibuat dalam bentuk novel atau cerita yang saling bertautan. Namun, sangkaku salah. Ternyata, buku ini merupakan rangkaian cerita pendek yang dibuat sejenis essai. 

Sebagai kritik sosial, kehidupan masyarakat, hingga politik. Tapi, lebih banyak membahas pada topik kehidupan sosial masyarakat. Terlebih masyarakat pedalaman dan kurang perhatian. Buku ini sangat pas bagi kalangan yang tidak begitu menyukai dunia politik, seperti diriku.

Terdiri dari 23 cerita, kesemuanya unik, membawa kesan dan pesan sekaligus kritikan terhadap kehidupan. Contohnya pada cerita Bahasa Ibu-menceritakan kisah tentang anak desa yang pada suatu ketika hijrah ke kota. Membawa impian dan cita-cita yang amat besar dari keluarga. Namun, kehidupan kota justru mengubah karakter dan kepribadiannya melenceng dari angan dan harapan. Di sini juga tergambarkan potret kehidupan di ibukota yang ruwet, kacau, jauh dari moral yang baik, dan sebagainya.

Ada beberapa cerita yang menurutku berkesan, seperti di sebuah kisah yang menceritakan potret kehidupan sekolah di pedalaman. Mengapa orang-orang pedalaman itu ada yang nggak percaya dengan sekolah, bahkan mereka nggak mau budaya dari kota masuk ke lingkungan mereka sekalipun itu memberikan efek yang baik. Nah, pada part ini juga diceritakan perjalanan seorang guru yang ditugaskan untuk mengajar di pedalaman yang di mana sekolahnya pun belum ada, jangankan siswanya.

Berikut cuplikan sedikit dari cerita yang termaktub dalam kisah seorang guru di sekolah pedalaman; "sekolah kami tidak seperti di kota, mendaftar mesti punya akta, tentu punya tanggal lahir dan nama orang tua, pun identitasnya. Mesti bisa baca dulu dan sebagainya." 

 Kalau itu syaratnya, mana ada yang masuk. Lagi pula lucu saja, orang mau sekolah kok harus pintar, orang masuk rumah makan itu karena lapar, orang mau belajar itu karena bodoh. jadi aneh kalau ada anak dikeluarkan dari sekolah karena dianggap bodoh, atau masuk sekolah dasar harus sudah bisa baca dan seleksi dulu, atau orang mau masuk rumah makan harus kenyang dulu, atau motor rusak harus dikeluarkan dari bengkel.

Dua paragraf di atas, saya kutip dari cerpen berjudul "Siapa yang menipu mereka?" dalam antologi cerpen yang dimuat dalam buku Berapa Harga Nyawa Hari Ini? Karya Eko Triono, terbitan Shira Media tahun 2022.

Sebagai sastra essay, buku ini nggak bisa hanya sekali dibaca, untuk memahaminya secara benar harus diulang-ulang. Agar apa yang disampaikan penulis juga bisa dipahami oleh nalar kita. Tapi, nggak harus semua yang penulis paparkan kita harus paham si. Meski demikian, buku ini sangat baik lho sebagai bahan baca untuk memperkaya pengetahuan dan bahasa. Secara penulisannya "dewasa" jadi bakal ada beberapa cerita yang tidak bisa kamu langsung mengerti dan memahaminya.

_______

📖 Baca dan Follow akun instagram kami!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun