Mohon tunggu...
Ade  Mahniar
Ade Mahniar Mohon Tunggu... Freelancer - Pecahan Biasa

Penikmat sastra dan aroma pensil warna. Sedang dekat dengan mate[MATI]ka. Enthusiast in Educational Technology.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Waktu Luang yang Melenakan

3 Desember 2020   20:54 Diperbarui: 3 Desember 2020   21:18 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pernah gak sih kita menyesali aktivitas seharian yang kita lakukan?

Keresahanku belakangan ini setelah banyak melakukan hal yang sia-sia adalah aku sadar mana hal yang baik dan buruk, mana aktivitas yang bermanfaat dan tidak, mana yang membuat produktif dan terlena, tapi tetap saja melakukan hal yang sia-sia dan sering menunda sesuatu yang mesti dilakukan. Aku jadi bertanya-tanya, berarti kesadaran akan hal baik dan buruk saja tidak cukup untuk membuat sesorang berubah. Apalagi yang dibutuhkan?

Pernah ada saat di mana agendaku mulai keteteran karena terdistraksi untuk berlama-lama berselancar di media sosial tanpa tujuan yang jelas, membuang waktu dan akhirnya pekerjaan yang seharusnya ku selesaikan jadi tertunda, kemudian aku menangis memikirkan kemalasanku, dan berjanji tidak melakukannya lagi. Tiga empat hari masih bisa bertahan, tapi di hari selanjutnya aku kembali terlena, tidak dengan handphone tapi dengan kasur. Begitu seterusnya distraksi yang datang berbagai macam bentuk, dengan pola "tiap bulan pasti ada saat seperti ini". Tidak melulu karena handphone, tapi kebanyakan penyebabnya itu.

Pada sebuah percakapan dengan teman di kontrakan, aku menanyakan hal serupa dan menemukan kesamaan problem yang sedang kita alami. Kita sama-sama butuh semangat, kita sama-sama resah dengan kemalasan diri, kita tahu dan sadar saat sedang bermalas-malasan, kita menyesal untuk kemudian melakukannya lagi esok hari dengan kadar yang lebih rendah atau bahkan lebih tinggi.

Jika kesadaran akan hal baik dan buruk saja tidak cukup, apalagi yang dibutuhkan?

Temanku memposisikan kemalasan kita sebagai dorongan nafsu dan menganalogikan situasi ini dengan Gajah. Katanya Gajah itu penurut, tapi sekali memberontak akan susah dijinakkan. Itulah nafsu kita. Sering meletup-letup dan susah ditaklukan. "...atau bisa jadi karena kurang produktif, kebanyakan waktu luang jadi kesempatan untuk bersantai lebih banyak..." sambungnya. Aku mengiyakan, bisa jadi.

Setelah bertekad tidak mau tidur, ia lanjut membaca buku Filosofi Teras dan membacakan salah satu kutipan dalam buku tersebut yang relevan dengan pembahasan kita saat ini: "kunci kebahagiaan manakala kita terhindar dari nafsu-nafsu yang tidak jelas, kecanduan dan addicted terhadap sesuatu". Tapi addicted terhadap beberapa hal juga ada baiknya, addicted belajar misalnya heheh. Sepuluh menit kemudian temanku tertidur dengan menggenggam buku.

Lalu apalagi yang dibutuhkan, jika kesadaran akan hal baik dan buruk saja tidak cukup?!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun