Mohon tunggu...
Ade  Mahniar
Ade Mahniar Mohon Tunggu... Freelancer - Pecahan Biasa

Penikmat sastra dan aroma pensil warna. Sedang dekat dengan mate[MATI]ka. Enthusiast in Educational Technology.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Pilkada dan Laku Masyarakat

26 November 2020   23:41 Diperbarui: 1 Desember 2020   12:26 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia kembali menggelar Pilkada di tahun ini. Salah satu daerah yang menggelar pesta demokrasi adalah Sulawesi Utara. Sejak pertengahan tahun telah terlihat berbagai persiapan dari mulai wacana calon hingga deklarasi kandidat mewarnai jalanan kota dengan baliho dan pamflet. 

Bertepatan dengan Pandemi Covid19 yang melanda seluruh dunia tak terkecuali Indonesia, membuat agenda Pilkada menjadi ancaman penularan. Meski sempat mendapat penolakan dari berbagai kalangan masyarakat, Pilkada akan tetap berlanjut dengan label "memenuhi protokol kesehatan".

Bukan politik kalau tidak ada strategi, pun dalam Pilkada tentu semua calon mengharapkan kemenangan dengan mendapatkan dukungan sebanyak-banyaknya. Kampanye merupakan salah satu tools untuk menggait para pendukung. 

Masyarakat kota Manado yang secara historical memiliki latar belakang ras, suku, dan agama yang berbeda-beda akan dipersatukan atau terpecah karena sebuah pilihan politik. Hal ini bisa membawa dampak baik dan buruk tergantung seberapa besar gesekan dan isu politisasi yang digaungkan. Tentu masih segar di ingatan kita dengan situasi politik yang terjadi saat Pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Politisasi SARA dan isu identitas beberapa tahun terakhir ini sedang marak digunakan sebagai maneuver pemenangan.

Lewat studi index yang dilakukan Setara Institute, Manado beberapa kali meraih posisi paling tinggi dalam indeks kota Toleran[1]. Untuk menjaga rasa toleransi, tentunya pemerintah daerah harus selalu menekankan pentingnya rasa saling menghargai satu sama lain kepada masyarakat, karena semaju apapun suatu negara, jika toleransi tak bisa terbangun dengan baik maka akan menimbulkan perpecahan. 

Namun di saat bersamaan Pilkada bisa menjadi lumbung benih munculnya perpecahan. Bentuk kecilnya bisa kita lihat lewat media sosial facebook, masih banyak masyarakat yang berkampanye untuk mendukung salah satu paslon dengan menjelek-jelekkan paslon lainnya, kemudian dibalas oleh pendukung paslon yang merasa tersinggung, dan berujung debat hinga saling membawa identitas SARA. 

Bentuk kampanye yang juga paling sering terjadi adalah saling serang hoax antara paslon dan itu membuat para pendukung bisa saling beradu komentar. Hal ini memberikan efek sangat kompleks bagi kehidupan personal ataupun relasi antar individu. Banyak orang keluar dari grup di media sosial karena perdebatan politik yang amat sengit di dalamnya. Ada juga hubungan tetangga hingga keluarga yang menjadi dingin, bahkan retak disebabkan perbedaan pilihan calon.

Hal yang juga jarang disadari adalah tingkat stres seseorang bisa meningkat karena situasi politik. Baik orang itu terlibat secara langsung maupun tidak langsung. 

Dengan membaca berita di dunia maya misalnya, kondisi psikologis seseorang bisa berubah secara cepat. Apalagi jika terlibat langsung dalam perdebatan media sosial tentang "siapa yang paling layak didukung?!"

Ingar bingar politik akan membuat seseorang mengalami tekanan cukup hebat dan bisa berdampak pada kesehatan tubuh atau membuat seseorang sulit tidur.

Sebuah hipotesis dalam psikologi mengatakan frustration leads to aggression, rasa frustrasi menuntun kepada perilaku agresif. Perilaku ini dibahas dalam artikel Gregory Bateson yang diterbitkan pada tahun 1941[2]. 

Gregory Bateson mengamati hipotesis agresi-frustrasi dalam sudut pandang budaya. Menurutnya, budaya secara implisit terlibat dalam hipotesis itu sendiri, karena berkaitan dengan perilaku manusia yang selalu dibentuk dan dipengaruhi oleh lingkungan, baik sosial maupun budaya.

Melihat fenomena laku masyarakat tersebut membawa penulis pada analisis mengapa itu terjadi dan apa hal yang melatarbelakangi itu semua. Ada dua hal yang menurut hemat saya sangat berpengaruh yaitu pola pikir masyarakat dan arus informasi. Dua hal ini saling berkaitan erat. 

Bila kita perhatikan semua hal yang kita lakukan baik ucapan, tindakan, kebiasaan, dan sikap kita merupakan hasil dari pola pikir yang sudah terbentuk dalam diri kita. Edward de Bono dalam buku New Think: The Use of Lateral Thinking[3] mengatakan bahwa pola pikir adalah akumulasi informasi yang masuk ke dalam pikiran dan informasi ini membentuk kerangka berpikir dengan sendirinya. 

Salah satu unsur penting pembentukan pola pikir adalah informasi. Informasi tersebut bisa didapat lewat nasihat orang tua, guru, orang lain atau pemikiran dari tokoh agama dengan kadar paparan masing-masing orang berbeda tergantung lingkungan ia berada. Proses pembentukan pola pikir terbentuk sejak masih dalam kandungan sampai akhir umur kita.

Demikian pula sebab kerukunan dan kekacauan yang terjadi selama pilkada, terdapat andil besar pola pikir masyarakat. Pertanyaannya, pola pikir masyarakat macam apa sih yang seharusnya dibangun? 

Untuk menjawabnya perlu analisis yang lebih mendalam, sebab ada banyak aspek yang akan disinggung salah tiganya yaitu aspek pendidikan, kesadaran, dan konstruksi sosial masyarakat. 

Namun langkah pertama yang menurut saya cukup prefentif adalah membangun kesadaran dengan penciptaan wacana anti hoax dan pencerahan kepada masyarakat untuk terus saling menghargai serta menghormati antar sesama. Kalimat terakhir ini terdengar klise dan utopis di telinga saya. Hehe

 Ade Mahniar- Mahasiswa Pascasarjana UNY

 ---

[1] setara-institute.org

[2] Gregory Bateson. 1941. The Frustration-Aggression Hypothesis and Culture. St. John's College, Cambridge University. First published in "Psychological Review"

[3] Bono, Edward de. 1990. Berpikir Lateral, Bina Rupa Aksara :Jakarta

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun