Tertawa yang gagal terselanggara merupakan kemalangan besar bagi para penikmat tawa. Maka jadilah ia dalam golongan merugi, sementara si Penyelenggara bisa jadi mendapatkan untung besar (peb).
Tadinya saya ingin tertawa berdasarkan bacaan yang menghibur di Kompasiana. Tapi tertawa itu mendadak gagal terselenggara. Pasalnya, tulisan itu mengandung sesat pikir.Â
Adalah tulisan Felix Tani, seorang oposan garis bengkok di Kompasiana, telah melakukan sesat pikir yang berpotensi mempengaruhi secara negatif terhadap para Kompasianer lugu, naif dan militan menganut faham garis lurus.Â
Kompasianer Felix Tani paling sering merisak admin Kompasiana dengan cara Logical Fallacy atau sesat pikir.Â
Saya sebagai Kompasianer--yang walau pemalu namun baik hati, rajin menabung serta memiliki anu yang lebih--tentunya tak ingin melakukan pembiaran.
Seperti dua kalimat pepatah bijak tertulis, pertama ; "Biar pasak daripada tiang". Kedua ; "Biar sama dimakan, tak ada sama ditahan."
Saya yakin para Kompasianer sudah mengerti dua pepatah hebat tersebut. Jadi tak perlu lagi dijelaskan. Dalam lagu-lagu populer sudah sering dijadikan lirik lagu yang syahdu penggugah hati, misalnya ; "Biar...biarlah pergi, asalkan kau bahagia. Biarlah kini, hidupku sendiri"
Dalam tulisan sesatnya (sumber di sini), Felix Tani menyampaikan pemikiran bahwa Kompasianer yang rajin menulis di Kompasiana termotivasi mengejar recehan KRewards, namun dengan banyak tulisan justru mereka merugi. Lalu apa yang diharapkan di Kompasiana? Â
Selanjutnya dikatakan bahwa bila motivasinya berbagi atau amal, tetap saja berujung pada kerugian, yang berujung pada miskin. Hal itu terjadi pada banyak penulis di Kompasiana. Maka masuklah mereka pada golongan miskin.Â
Ketika seseorang jadi Kompasianer kemudian secara sadar atau tidak mengalami kerugian sehingga masuk golongan miskin, maka hal itu sungguh t . e . r . l . a . l . u !