Shin Tae-yong lahir di Yeongdeok, Gyeongbuk, Korea Selatan pada 11 Oktober 1970. Usia segitu hitungannya tidak tua-tua amat, sih. Kata nenek, itu termasuk usia matang bagi seorang yang punya karier kepelatihan.
Sejak kelas 3 SD, Shin Tae-yong suka main bola seperti umumnya anak-anak singkong di kampung di Indonesia. Bola yang dipakai masih bola plastik yang dibeli secara urunan.
Shin Tae-yong bahkan main bola sampai malam hari. Untungnya dia berada di negaranya, Korea Selatan. Kalau itu di Indonesia, main bola sampai malam bakal dijemput emak dengan lidi pemukul di tangan. Udah pasti disuruh pulang disertai omelan, jeweran dan sembatan lidi ke kaki bakal didapatkan.Â
Kegilaannya pada sepakbola, tidak membuat Shin Tae-yong masuk rumah sakit jiwa. justru dia menjadi pelatih hebat, dan tentu saja banyak uangnya dari gaji besar yang dia terima.
Saat ini Shin Tae-yong  pelatih yang jadi harapan bagi 260 juta rakyat Indonesia. Tentu saja hal ini di satu sisi merupakan sebuah kebanggaaan dan kehormatan baginya, dan bagi rakyat Korea Selatan.Â
Namun di sisi lain menjadi beban yang tidak ringan. Sangat komppleks. Butuh pemikiran yang serius agar bisa memenuhi harapan tersebut.
Rakyat Indonesia, khususnya para pecinta sepakbola nasional yang dikenal sangat militan mendukung Timnas Indonesia. Timnas kalah tanding saja didukung sepenuh jiwa, apalagi kalau tidak menang?
Shin Tae-yong paham situasi dan kondisi tersebut. Itulah mengapa pada libur Imlek  saat tidak ada latihan dia gunakan untuk kontemplasi. Gunanya untuk meredakan tekanan, membangun dan memperkuat semangat berkarya. Semangat hidup, refleksi dari timeline diri  sambil menciptakan ide-ide baru yang mendukung kerja.
Kontemplasi dilakukan tak harus duduk bersila tanpa baju layaknya orang bertapa seperti dalam filem-filem kungfu.