Jangan girang dengan kemenangan 4:1 Â Timnas Indonesia atas Timor Leste. Itu tak lebih sebuah kemenangan palsu.Â
Gampang saja. Tak perlu rumit menilai permainan Timnas Indonesia. Lihat saja permainan mereka selama laga berlangsung sama sekali tidak mencerminkan sebuah tim yang digadang-gadang bakal menjadi kekuatan baru di ASEAN.
Babak pertama saja sudah ketinggalan 0 : 1 dari gol cantik oleh Paulo da Costa Freitas pada menit ke 34. Bahkan beberapa peluang emas Timor Leste hampir saja menambah keunggulan mereka.Â
Sementara itu para pemain Indonesia bagai kumpulan orang yang baru belajar bermain bola.Â
Babak kedua Timnas Indonesia mendapatkan 4 gol. Masing-masing  2 gol dari kaki Ricky Kambuaya menit ke 65  dan Pratama Arhan pada menit ke 73. Kemudian bonus 2 gol bunuh diri pemain Timor Leste pada menit ke 77 dan 85.
Dua gol bunuh diri pemain Timor Leste itu sebuah "kecelakaan". Sementara satu gol Pratama Arhan dari titik pinalti bukan dari skenario penyerangan yang dibangun dari bawah, melainkan bernuansa separuh kecelakaan pemain Timor Leste yang tidak sengaja tangannya menyentuh bola ketika terpleset karena lapangan licin sehabis hujan lebat.
Jadi, sebenarnya tiga dari empat gol Timnas Indonesia dihasilkan dari "pemberian" para pemain Timor Leste yang mengalami "kecelakaan". Sungguh sebuah kemenangan yang palsu.
Sedangkan satu gol yang dicetak  Ricky Kambuaya dihasilkan bukan murni dari built-up serangan yang rapi dari lini bawah-tengah melainkan karena ketidaksengajaan rekannya yakni Ronaldo Kwate melakukan kecerobohan di lini depan.
Saat itu Ronaldo Kwate akan menahan bola yang datang padanya, namun terlepas. Beruntung jatuh di kaki Ricky Kambuaya. Lalu digiringnya dan melepaskan tembakan ke gawang. Gol.
Selama pertandingan para pemain lebih banyak bagai bingung sendiri dalam pengolahan bola. Tidak adanya kerjasama tim dalam satu pengertian konsep tertentu khususnya di lini tengah dan belakang, serta mubazirnya penguasaan bola di lini depan tidak mencerminkan sebuah tim nasional sepakbola yang dilatih pelatih hebat.Â
Hal ini jelas kesalahan Shin Tae-yong, selain  tentu saja para pemain.Â
Apa yang terjadi di lapangan bukan lagi domain pengurus PSSI. Emangnya ketua PSSI atau anggota Exco PSSI yang berlari-lari merebut dan menendang bola? yee kaan? yeee kaan? heu heu heu...Â
Kalau dalam tempo dekat ini permaianan Timnas Indonesia tidak mengalami perubahan yang sigifikan, maka tak heran Shin Tae-yong bakal terancam.Â
Saat terancam itu, Shin Tae-yong akan mengeluarkan jurus klise yakni meminta diadakannya naturalisasi di PSSI. Ini sebuah cara pragmatis, jauh dari sebuah proses.
Hal ini menjadi sebuah paradoksal Shin Tae-yong. Di satu sisi ia menjanjikan proses pembangunan kualitas permainan timnas, bukan prestasi.
Namun disisi lain, Shin Tae-yong ketakutan sendiri kalau tidak punya prestasi. Lalu ia melakukan aksi sangat pragmatis, yakni naturalisasi.
Kalau sudah begini, dunia sepakbola Indonesia, khususnya Timnas Indonesia akan terus diberikan janji-janji atau mendapatkan banyak kepalsuan.
----
peb27012022
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H