Lalu, siapa yang salah ketika gawang Timnas Putri Indonesia Garuda Pertiwi kalah 18 gol tanpa balas?
Aktor utamanya adalah pelatih beserta tim kepelatihanny. Pelatih memiliki tanggungjawab dan diberi "target / capaian prestasi" ketika ditunjuk lembaga dan menerima menjadi pelatih.
Realitas yang dihadapi si Pelatih adalah tidak adanya sistem infrastruktur sepakbola perempuan Indonesia yang mumpuni. Turunannya adalah minimnya pilihan alternatif pemain perempuan yang berkualitas dan siap pakai.
Dari realitas serba ke-minim-an tersebut maka si Pelatih harus punya strategi dan gambaran utuh menghadapi sejumlah pertempuran di Piala Asia. Bisa saja sudah diperkirakan Garuda Pertiwi bakal kalah dari Autralia. Tapi kekalahan harusnya-- misalnya--dibawah 5 gol. Caranya bagaimana?
Disinilah tanggungjawab dan kepiawaian pelatih dituntut, baik itu dalam mengasuh para pemain, maupun memetakan kekuatan dan kelemahan lawan agar kalau kalah tidak sampai belasan gol.
Kalau Garuda Pertiwi kalah 5 gol, syukur-syukur bisa balas satu atau dua gol, itu sebuah target dan prestasi.Toh kekalahan 5 gol merupakan hal biasa dalam dunia sepakbola.
Kekalahan 18 gol merupakan hal yang sangat tidak biasa. Fantastis! Dalam bahasa gaulnya ; "Kalah sih kalah, tapi nggak gitu-gitu amat kalee!"
Hal tersebut bukan saja mempermalukan Timnas Putri, bangsa Indonesia, kehormatan Piala Asia, dan AFC namun juga sangat merendahkan marwah sepakbola Internasional itu sendiri. Ini merupakan hal mendasar dunia kepelatihan.
PSSI sebagai sebuah lembaga tentu saja tak bisa lepas tangan. Namun penanggungjawab di lapangan pertempuran  (pertadingan) adalah pelatih. Karena dia lah pengambil keputusan semua hal di lapangan, baik itu strategi permainan, pemilihan pemain, dan hal teknis lainnya.
Kalah telak 18 gol melebihi jumlah pemain (11 orang) satu tim sepakbola bukan cuma sebuah kekalahan dalam pertandingan, tapi merupakan penghinaan atau merendahkan dunia sepakbola yang serius. Lebih jauh, pada tataran jender ; merendahkan dunia perempuan!