"Kompasianival 2021 ini adalah tonggak terakhir bagi saya. Â Setelah itu, saya tak akan menulis lagi artikel kritik, baik terhadap Kompasiana, Admin K, maupun Kompasianer. Â Saya juga akan membatasi diri menulis hal-hal biasa saja, sesuai hakekat hidup saya sebagai petani." (Kompasianer Felix Tani)
Saya membaca artikel yang mengharu biru, berjudul : "Kompasianival 2021, Tonggak Terakhir Untukku", yang ditulis kompasianer Felix Tani. Artikel itu saya pahami sebagai sebuah nazar seorang Felix Tani dalam berkompasiana pasca Kompasianival 2021. Disinilah titik tolak gagasan artikel saya ini dimulai.Â
Saya mengenal Felix Tani sudah relatif lama. Beliau merupakan rekan satu tim saya di klub Centhirisiana FC pada liga seri A semasa kejayaan pelatih Kimberly sampai Jessica--dua sosok coach jagat liga Kompasiana paling fenomenal saat itu. Saya dan Felix Tani bangga menjadi bagian dalam fenomenalitas tersebut.Â
Pada masa itu  kami pernah menggondol berbagai tropi, tanpa pernah publik ketahui karena kalau mereka tahu tropi nya digondol, maka kami kehilangan kedigdayaan dan tidak mendapatkan manisnya rasa kejayaan. Jadi kehebatan kami adalah menggondol tanpa banyak orang menyadarinya.
Posisinya sebagai gelandang, sementara saya sebagai wing back (bek sayap) yang sering tak tertangkap kamera saat menutup wajah karena mendadak penyakit saya kumat, yaitu tersipu malu disertai lutut gemetaraan. Dalam situasi dan kondisi tersebut Felix Tani akan melakukan gerakan tanpa bola di zona serang. Semua orang akan dibuat ketar-ketir. Dengan tanpa bola saja Felix Tani bisa bergerak. Apalagi bila dengan dua bola miliknya yang merupakan sumber kekuatan hakiki!
Kembali ke laptop. Saya sebut artikel milik Felix Tani itu mengharu biru karena saya sedang tak punya kata untuk menyebutkannya dengan istilah lain. Dalam penerawangan dari dalam celana, pada posisi Utara bujur Selatan, sebutan itu bisa mewakili benak-benak biru pembaca Kompasiana, menyentuh urat romantis sampai ke tulang dan sum-sum. Kalau pun ternyata tidak mewakili, aku sih rapopo...
Sulit membayangkan seorang Felix Tani hanya menulis hal-hal biasa di Kompasiana (yang dipenuhi panggung hiburan) sesuai hakekat hidupnya sebagai seorang petani. Ada banyak faktor hal itu tidak mungkin terjadi.  Satu hal penting adalah faktor kode genetik  Felix Tani yang sudah berubah karena penetrasi masif Soto Mas Karso, yang menzolimi secara romantis seorang Felix Tani dalam berkompasiana.Â
Dulu Felix Tani bukanlah siapa-siapa. Beliau hanya seorang tua yang tersandera sepinya nikmat wacana utopia etnografis, sementara di luar sana begitu banyak kenikmatan duniawi Kompasiana seperti Headline (AU), K.Rewards, Kompasianival, serta sejumlah kegenitan admin Kompasiana saat menari di panggung regulasi Kompasiana yang erotis. Terciptalah erotikalisme vulgar admin Kompasiana yang membuat sebagian besar lib#d0 Kompasianer bergetar--mengharapkan sentuhan nikmat hedonisme literasi modern.
Dalam satu timeline yang sama namun pada peristiwa paralel dengan hal tersebut hadirlah Soto Mas Karso yang terlihat mengusung rasa egalitarian, namun  sebenarnya sebuah taktikal kapitalisme tingkat tinggi di arus bawah. Kekaguman Felix Tani pada rasa soto Mas Karso membuatnya menjadi transformer egalitarian yang militan, yang tanpa disadari mengubah kode genetiknya. Mitokondria literasi Felix Tani terbelit soto secara mutualistis dalam menghadapi erotika hedonis admin Kompasiana. Dari rangkaian peristiwa inilah Felix Tani kemudian "maju ke tampil dan tampil ke maju". Laksana membeli hp baru berikut dengan sinyal yang dibungkus apik.
Namun di sisi lain, Mas Karso sebenarnya seperti tak ubahnya proxy erotikalisme admin Kompasiana. Atau, jangan-jangan mas Karso itu subsistem Kompasiana beserta para adminnya. Jangan-jangan....di suatu waktu dan peristiwa rahasia : admin Kompasiana dan Mas Karso ngopi bareng sambil tertawa terkekeh-kekeh dalam ruang nikmatnya.
Segala kemungkinan bisa terjadi, dan bukan secara kebetulan mengingat jejaring kehidupan seringkali menghadirkan turunan dan integral tanpa pernah memperlihatkan wajah rumus hedonis dan kapitalistiknya. Tanpa perlu terjalin sebuah silaturahmi nepotisme atau tanpa ikatan tradisional-kulturalistik untuk sebuah jejaring masa kini. Â
Perubahan kode-kode genetik tersebut secara tidak sadar menjadikan ideologi literasi seorang Felik Tani tak mudah begitu saja atau tidak mungkin lagi diubah seperti sedia kala karena begitu banyak membran dan matriks yang hilang dan tak lagi terletak di bagian awal. Â Pada titik simpulan inilah ketidakpercayaan saya pada nazar Felix Tani.
Atas nama "hakekat diri"-nya itu maka akan menjadi sebuah kesia-siaan seorang Felix Tani menguras begitu banyak energi dirinya dan energi para Kompasianer lainnya yang mungkin dalam selang waktu tertentu mampu menemaninya. Namun selanjutnya mereka akan kelelahan dan beranjak pergi.
Dalam konstelasi apapun, Kompasiana tidak akan kehilangan apapun yang dimiliknya. Hal ini penting dipahami  seluruh Kompasianer. Pasukan Eternals Kompasianer yang tampak abadi sekalipun bisa hilang panggung dan mati ketika sum-sumnya tersedot rasa kesia-siaan. Sementara Kompasiana laksana Arishem dalam jagat ruang dan waktu.Â
Memang dengan skor 4;1, Timnas Indonesia tampak unggul atas Myanmar. Tetapi permainan Timnas Indonesia  tidak menunjukkan keistimewaan sebuah tim hebat hasil olah latih coach Shin Tae-yong. Taktikal dan kekuatan fisik mereka masih business as usual. Untunglah ini hanya pertandingan ujicoba, masih ada waktu berbenah sebelum memasuki laga Piala AFF 2021.
Demikianlah catatan saya di Kompasiana ini sebagai tulisan terakhir. Selamat merayakan Kompasianival 2021. Saya bangga pernah di luar panggung kehormatan menjadi bagian hiruk pikuk dan kegembiraan Kompasianival.Â
Jangan lupa dukung terus Timnas Indonesia. Kalau kemudian Timnas Indonesia menjadi juara piala AFF 2021, aku sih rapopo...
----
Peb, penulis muda yang berbakat serta bakal calon admin. Heu heu heu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H