Saya senang membaca sebuah artikel bagus , judulnya "Penulis Artikel Politik yang Katrok Di Kompasiana". Penulisnya Desvin Celestin, sebuah nama dari akun baru di Kompasiana (dilihat dari anunya).Â
Inti dari tulisannya adalah sebuah keprihatinan soal tulisan politik dan penulis politik di Kompasiana yang semakin hari cenderung seadanya, katrok, culun, dan tidak menarik.
Akibatnya, banyak pembaca atau netizen tidak lagi tertarik membaca artikel politik di Kompasiana. Padahal dulu, banyak penulis politik yang hebat sehingga jadi rujukan netizen dalam melihat perspektif politik di negeri ini.
Saat membaca artikel Kompasianer Desvin Celestin, saya dibuat tertawa ngakak karena dalam artikelnye terungkap salah satu penulis Katrok yang dimaksud adalah saya.
Harus saya akui, saat ini saya memang tak lebih penulis politik yang Katrok. Tulisan saya soal politik memang dangkal, dan tidak jelas juntrungannya. Namun sebagai lelaki pemalu, saya berusaha tabah.
Duluuuu....saat zaman artikel politik jadi panglima di Kompasiana, saya banyak menulis soal politik di Kompasiana, dan tak sedikit yang mendapatkan label Artikel Utama.
Bahkan era Pilpres 2014 dan 2019 saya getol menulis artikel politik yeng mendukung Jokowi. Tulisan saya mendapatkan banyak pembaca, K.Rewards dan label Artikel Utama.
Pada Pilpres 2019 lalu Kompasiana menyediakan ruang khusus di kanal "Kandidat", selain itu disediakan Award khusus berupa uang Rp 1 Juta rupiah bagi satu tulisan politik yang dinilai sebagai yang terbaik oleh dewan juri Admin Kompasiana.
Kompasiana menyediakan dua hadiah, masing-masing untuk artikel politik terbaik pendukung Jokowi dan Prabowo. Di pihak pendukung Jokowi, salah satu artikel politik saya terpilih jadi pemenang. Uang 1 juta pun masuk rekening BNI saya tanpa dipotong pajak. (Ini artikelnya).
Usai Pilpres 2019 saya tidak begitu aktif menulis politik. Jangankan menulis, membuka Kompasiana dan membaca berita politik pun sangat jarang, padahal modal menulis politik harus sering/intens mengikuti isu politik sehingga punya banyak referensi dari berita dan televisi sehingga waktu menulis bisa membangun opini politik yang kuat.