Selain soal K.Rewards yang relatif baru, semua tema tersebut sudah pernah terjadi di Kompasiana sejak dulu.Â
Kompasiana butuh konflik untuk menumbuhkembangkan dan mendewasakan diri dan "sustainable". Bila tanpa konflik, tidak akan ada pembelajaran kepengelolaan konflik. Tidak ada ruang saling berbagi pendapat dan terbangunnya kesepahaman secara terbuka antar para Kompasianer.
Tanpa konflik, tidak ada ide-ide baru yang bisa menjadi masukan untuk para admin dan Kompasianer itu sendiri.Â
Secara khusus tidak ada momen sik-asik yang bikin para admin dipaksa situasi untuk membelalakan matanya--sambil menahan emosi dan lutut gemetaran serta jakun turun naik (admin laki-laki) dan alis turun naik ( admin perempuan). Tidak ada momen berkumpul sesama admin di salah satu bilik kerja admin untuk membicarakan konflik itu sambil ngomel-ngomel meluapkan kekesalan. Iiiih...iiiih...!
.
Tanpa konflik, berbagai grup WA Kompasianer yang menjadikan Kompasiana bagai hidup-mati dirinya, lebay, baperan, berpikiran 'close minded'Â namun ambisius--jadi kehilangan bahan bakar pertamax dalam pembicaraan grup. Â
Grup WA itu kembali pada rutinitas saling berbagi link artikel sambil ngomel-ngomel karena tidak mendapatkan label Headline (Artikel Utama), kemudian membandingkan tulisannya dengan milik Kompasianer  Si A atau B atau C yang dianggap tidak mutu tapi dapat label 'Artikel Utama'. Grup mereka balik ke rutinitas membangun konspirasi pergosipan tentang Si Kompasianer A, B C, dan seterusnya berdasarkan data atau informasi antah berantah.
Tak terasa, merindu konflik antar Kompasianer telah jadi satu artikel. Posting ahhh...
----
Â