Seorang atlet sepakbola yang pensiun dari aktivitas sebagai pemain bola akan bangga menyebut dirinya sudah "Gantung Sepatu". Dia akan ditangisi para penggemarnya. Suasana pun dramatis.
Anehnya, para fans hampir tak pernah mempertanyakan letak ruang atau tempat penggantungan sepatu si Pemain. Apakah di jemuran belakang rumah, atau di dalam kamarnya?Â
Mereka jarang bereaksi ketika kemudian tahu bahwa sepatu itu 'cuma' disimpan di rak sepatu. Bukan digantung! Padahal saat konferensi pers dinyatakan gantung sepatu!
Demikian juga pada sebutan cabang olahraga lain seperti ;Â gantung raket (pebulutangkis dan tenis), gantung payung (penerjun payung), gantung tebing (pemanjat tebing), Â gantung sarung tinju (petinju), gantung martir (atlet lontar martir), gantung lembing (atlet lempar lembing), gantung celana dalam (perenang), gantung motor (pembalap motor), gantung mobil (pembalap mobil), gantung kuda (penunggang kuda), gantung diri (atlet bela diri), dan cabang-cabang lain.
Setiap atlet punya momen atau waktu 'spesial' untuk  gantung anunya. Alasannya bisa karena cidera, faktor usia tua, ingin ganti profesi, selalu dimarahi pacar/istri/suami, putus cinta, dan lain sebagainya.
Menggantung anunya bagi seorang atlet merupakan momen 'sakral' dan 'mengharukan' dalam perjalanan hidupnya.
Lalu bagaimana dengan penulis Kompasiana (Kompasianer)? Walau bukan atlet, Kompasianer punya kesempatan layaknya atlet. Heu heu heu...
Dengan perangkat utama hape atau laptop, kapan seorang Kompasianer akan mengantung hape atau laptopnya? Dimana akan mengantungnya? Alasan dan momen apa yang jadi dasar gantung hape atau laptop?