Larangan itu muncul pada era 80an yang marak lagu-lagu cinta dimana pihak perempuan terzolimi, merengek-rengek, dan seterusnya.
Lagu yang ngetop pada masa itu, seperti ;Â 'Patah Hati' (Rahmad Kartolo); Hati yang Luka (Betharia Sonata)."...Lihatlah tanda merah di pipi, bekas gambar tanganmu....pulangkan saja aku pada ibuku atau ayahku.." Itu sepenggal liriknya. Lalu ada lagi lagu-lagu Obbie Mesakh seperti "Antara Benci dan Rindu" ; "Kau dan aku Satu".Â
Pelarangan itu sangat mengherankan. Padahal 'cengeng' itu hak asasi manusia paling esensial dan kritikal. Sebagai manusia, apalagi lelaki pemalu seperti saya, 'cengeng' merupakan hak pribadi. Tidak merugikan orang lain. Cengeng merupakan hal privat, sebagai sebuah relasi pribadi logika atau realitas seorang manusia dengan perasaannya.Â
Beruntunglah pada zaman sekarang, dalam era rezim Admin Kompasiana ini, cengeng tidak dilarang. Kompasiner diberikan kebebasan yang luas untuk jadi cengeng di Kompasiana. Admin Kompasiana menjamin penuh keamanan terselenggaranya Kecengengan para Kompasianer. Untuk hal ini, apresiasi yang tinggi diberikan kepada para Admin Kompasiana. Semoga iklim cengeng bisa tumbuh secara kondusif di Kompasiana.
Apa yang dimaksud dengan 'Kompasianer Cengeng'? Â Apa ciri-ciri cengengnya? Siapa saja orangnya? Ini sangat menarik untuk dikupas tuntas. Nanti akan saya jelaskan secara gamblang. Tapi untuk saat ini saya tunda dulu penulisannya karena saya mau sarapan, plus ngopi pagi sembari menikmati kicauan burung orang di taman belakang rumah. Habis itu saya mandi, pakai baju, bersisir dan tak lupa semprot minyak wangi di baju dan ketiak pakai rexona roll on.
Selamat pagi, selamat ngopi. Tetaplah patuhi Prokes. Salam sehat...
----Â
Peb16072021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H