Sudah lama saya ingin menulis tentang hal ini, sebuah artikel yang sangat sensitif, namun selalu tertunda atau lebih tepatnya sengaja menunda karena pertimbangan politis di Kompasiana.
Saya memperkirakan saya adalah Kompasianer Cengeng. Sadar akan kecengengan itu membuat saya harus ekstra hati-hati menulis soal fenomena Kompasianer Cengeng. Bakal banyak Kompasianer yang kebakaran jenggot (untuk laki-laki), dan kebakaran bulu mata lentik (untuk perempuan).
Saya ingin hidup seribu tahun lagi. Apalagi saya ini bakal calon admin tahun 2222, jadi harus bisa membangun citra pribadi yang positif dengan menjaga imej, berbahasa santun, menyenangkan banyak orang, dan tidak membuat kegaduhan--sekecil apa pun itu di Kompasiana. Saya ingat pepatah bijak di Kompasiana ; "Lima ratus lima puluh kawan Kompasianer itu kurang, tapi lima musuh Kompasianer itu kebanyakan."
Amit-amit jambang bayi, jangan sampai setelah menulis artikel sensitif ini kemudian kecengengan saya menurun drastis, atau mengalami degradasi cengeng yang dramatis. Itu berarti saya gagal mempertahankan kecengengan, atau tidak konsisten sebagai Kompasianer cengeng.
Hal paling sulit dihadapi bila menulis artikel yang sensitif ini bukan pada materi yang ingin dituliskan, melainkan reaksi frontal dari para Kompasianer. Mereka bukan hanya protes, tetapi bisa lebih dari itu, misalnya; marah dan memusuhi saya karena merasa dilecehkan, tersinggung harga dirinya direndahkan. Kalau sampai saya dimusuhi, rugi lah bandar!Â
Keberanian menulis artikel sensitif ini kembali muncul setelah even EURO 2020 berakhir. Apalagi setelah Italia 'Gli Azzuri' jadi juara, tugas saya bikin artikel bola pun selesai. Setelah terima honour K. Rewards maka boleh tidak menulis lagi.
Rencananya saya mau pulang kampung saja, mumpung PPKM ketat, jadi ada alasan "Harus patuh aturan. Diam di rumah saja. Tidak boleh berkeliaran."
Kalau saya tetap menulis artikel Kompasiana, itu berarti saya berkeliaran, kesana kemari cari referensi di tipi, koran, mbah google, baca ini-itu, Â bertemu teman-teman Kompasianer di lapak komentar. Semua itu melanggar aturan. "Disuruh diam di rumah kok berkeliaran". Dasar nackal...nackalll...!
Berkeliaran akan sangat riskan terpapar Covid19 untuk ketiga kali. Kebetulan saya pernah dua kali terpapar Covid 19. Pertama kali bulan November 2020--saat itu saya belum menerima suntik vaksin. Kali kedua bulan Juni lalu---setelah saya menerima suntik vaksin lengkap sejak awal bulan April. Beruntunglah semua itu  bisa dilewati dengan selamat.
Soal cengeng, saya ingat masa Orde Baru pernah ada larangan yang dikeluarkan pemerintah dalam hal ini Menteri Penerangan Harmoko ; televisi, radio, penggiat musik dan masyarakat penikmat musik dilarang memutar dan menyanyikan lagu cengeng. Alasannya ; Lagu cengeng itu tidak mendidik, tidak edukatif, berpotensi bikin patah semangat, dan bisa merusak mental masyarakat yang seharusnya optimis dalam masa pembangunan.Â