Diterima kerja pertama kali dalam suatu tempat yang diinginkan dengan lingkungan kerja yang nyaman merupakan keinginan banyak orang. Apalagi bagi bagi seorang fresh graduate yang baru selesai kuliah atau sekolah dan masuk kehidupan nyata. Dalam melaksanakan tugas pekerjaan dengan semangat 45! Saat pergi dan pulang kerja penuh senyum kepada setiap orang yang ditemui.Â
Saat ngumpul dengan teman atau keluarga, selalu senyum sendiri. Ketemu abang tukang bakso, senyum. Digodain tukang ojeg pengkolan, senyum. Berpapasan dengan Keanu Reeves lagi jualan cendol, senyum. Bertatap mata dengan Kate Winslet lagi jual jamu gendong, senyum. Sampai-sampai dikatain teman main atau keluarga dekat sebagai "agak-agak kurang se-ons" pun ditanggapi dengan senyum.Â
Sebagai pegawai baru yang masih "anak bawang" dalam memahami keseluruhan dinamika kerja, banyak hal yang belum diketahui di tempat kerja, walau mungkin sebelumnya sudah mempelajari lembaga tersebut dari berbagai sumber tertulis. Namun apa yang tertulis dan dibaca, belum tentu sepenuhnya sesuai dalam kenyataan. Ada hal yang "out of the rule" yang terjadi dan menjadi kultur lembaga itu, tanpa banyak diketahui orang luar. Kultur itu seringkali tercipta dari "konsensus" para pegawai senior di tempat kerja yang sudah lama terbentuk, sudah mendarah daging dan dengan berbagai alasan yang sulit dimengerti.
Namun kemudian, bisa jadi ada pegawai lain yang memberitahukan si Anak Bawang bahwa semua itu bukan job destription-nya , dan hanya dimanfaatkan oleh senior kantor?
Menjadi orang yang "disuruh-suruh terus" itu seringkali dirasakan tidak nyaman. Namun perlu juga disadari dan pahami lebih dalam bahwa bekerja bukan semata soal nyaman tidak nyaman. Bila memilih menjadi pegawai suatu lembaga (negeri atau swasta), maka disuruh-suruh itu sebuah keniscayaan.Â
Ada hiraki dalam bekerja sebagai sebuah tim kerja. Didalamnya memuat tanggung jawab,  job description, dan sistem kepengawasan pada setiap level hirarki tersebut. Diatas kita ada atasan, diatas atasan kita ada atasannya, dan seterusnya. Setiap atasan punya target kerja dan penilaian terhadap bawahan, maka sebagai pegawai baru tak bisa mengelak  dari kultur "disuruh-suruh" yang  bahkan bisa melebihi kapasitas si Anak Bawang. Si Anak Bawang dipaksa untuk mampu.Â
Setiap atasan bisa saja melihat potensi si Anak Bawang yang kiranya memang punya kelebihan, yang bila dipaksa akan bisa mengerjakan sesuatu yang dinginkan atasan tersebut. Walau sebenarnya pekerjaan itu bukan level si Anak Bawang, namun karena masalah non-teknis dengan pegawai lama yang sudah "sulit di suruh-suruh" maka jadilah si Anak Bawang "korban disuruh-suruh, plus dimarah-marah". Â Heu heu heu...
Menjadi "korban disuruh-suruh" akan menyakitkan bila memandang suatu pekerjaan sebagai beban,  dan punya jiwa pemberontakan tidak biasa disuruh-suruh.  Namun sebaliknya bila mampu melihat hal itu sebagai latihan menuju kematangan, bahwa "disuruh-suruh" akan memberikan banyak pengalaman, wawasan dan pembentukan jiwa (mentalitas tangguh) untuk masa depan pekerjaan, maka disuruh-suruh bukanlah sebuah beban. Walau mungkin ada orang di lingkungan kerja yang  coba mempengaruhi "jangan mau disuruh-suruh!".Â
Bila lembaga tempat bekerja memiliki struktur hirarki kelembagaan yang kuat dan jelas, baik  promosi jabatan, jenjang karier, punishment dan reward, dan lain-lain maka akan memberikan ruang untuk mematangkan diri menuju jenjang karier lebih tinggi.  Toh tak selamanya jadi anak bawang. Ada masanya kelak menjadi senior yang mumpuni di kantor tersebut.