Bintang datang mengetuk jendela.
Pada malam itu, aku dan lelap sedang sibuk berbagi kata. Kami serius menyusun dan membungkusnya.
Kusapa bintang sejenak. Â Kuutus kelopak dan bulu-bulu mata untuk mengabarkan, Â "Tunggulah sejenak, masih banyak kata belum usai"
Tak pernah kukira kemudian waktu menjeratku.
Entah darimana dia datang. Dengan kasar diseretnya aku menjauhi jendela kaca itu.
Aku sampai kehilangan orientasi. Semua mata angin mendadak tutup.
Sementara lelap lari ketakutan dan bersembunyi. Entah dimana.
Mungkin waktu murka karena terlalu banyak kuberikan kata-kata basi tentang pagi, siang dan sore. Aku lupa, waktu adalah sahabat mereka bertiga.
Aku berteriak. Memohon belas kasihan. Tapi  tanpa ampun waktu terus menyeretku.Â
Kulitku terkelupas. Baju robek. Banyak tanda kehormatan yang tadinya menempel jadi terlepas dan berserakan.
Pada sebuah simpang, sembari menahan kesakitan sempat kulihat bintang meneteskan air mata. Kaca jendela itu berembun oleh deru isaknya.
Sempat aku terpikir. Kusesali. Â Tadi aku lupa menitipkan satu bingkisan kata padanya.
----Â
peb07November2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H