Berbondong-bondong media mainstream meliputnya demi informasi publik. Bahkan ada stasion televisi yang menjadikannya siaran "live". Penonton mendapatkan berita/informasi yang real time. Nikmat informasi mana lagi yang kau dustakan?
Peristiwa kebakaran itu berlangsung relatif lama. Api besar melahap gedung tidak bisa cepat dipadamkam pihak berwenang. Dengan dukungan peralatan modern, para petugas yang sudah terlatih perlu waktu berjam-jam bertarung memadamkan api. Mereka mempertaruhkan raga dan nyawa di lokasi.
Diselang waktu upaya pemadaman itu, informasi kebakaran sudah menyebar luas ditengah masyarakat. Dari Sabang sampai Marauke. Dari Miagas sampai pulau Rote . Didepan layar televisi, bibir publik pun berceloteh. Nada keprihatinan. Kekuatiran. Keingintahuan, dan lain-lain.
Bersamaan dengan itu, ketak ketik jari-jari sebagian publik pun aktif di perangkat media pintarnya mengiringi tontonan api Berbagai kanal media sosial. Kanal-kanal media sosial riuh. Grup WA, FB, Twitter, Instagram, dan lain sebagainya.
Dari ketak-ketik tulisan itu, disaat api belum masih membara, dan pertarungan petugas pemadam kebakaran dan petugas pendukung lainnya masih berlangsung, publik netizen berproduksi informasi ; opini, argumentasi, analisis ringan, celoteh, dan lain-lain dengan ngotot-ngototan maupun canda.
Pada saat itu juga, berbagai "kebenaran informasi" telah diciptakan dari satu orang ke orang lain, dari satu kelompok ke kelompok lain, menjadi informasi publik untuk sesama publik, layaknya diktum demokrasi "dari rakyat untuk rakyat". Kemunculan Konspirasi pun tak bisa dielakkan.
Padahal api belum padam, penelitian belum mulai, dan validitas informasi penyebab kebakaran belum disampaikan resmi. Namun "kebenaran" sudah diciptakan, yang bisa jadi kelak mengalahkan "kebenaran valid" yang telah melewati metode baku sebuah kebenaran universal.
Dia ciptakan fenomena baru ditengah api, yang didasarkan pada kebiasaan "mengumpulkan informasi, memakannya dengan tanpa perlu lama mengunyah untuk dijadikan energinya sebagai "aktivis" media sosial. Ujung-ujungnya adalah energi eksistensi diri di tengah kelompok.
Bila melihat filem 'Tilik" , kita akan menyangkal bila dikatakan mirip Bu Tejo. Kita tak sudi Bu Tejo didaulat sebagai representasi kita ditengah arus informasi internet, khususnya media sosial. Banyak cara dan alasan bisa dikemukakan.
Tapi kita tak bisa menyangkal suara tangisan hati nurani ketika "kebenaran" diri kita ternyata tidak tepat setelah validitas informasi kemudian menyatakan dirinya di depan pintu hati nurani.