Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Marah pada Kelopak Mata

4 Desember 2019   20:31 Diperbarui: 4 Desember 2019   22:27 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : modenesia

Tak pernah terlihat kelopak itu membuka. Rapat terkunci tawa dan tatap lembut dunia hingga gelombang air mata enggan meluap.

Di hadapan kelopak itu aku kehilangan nyali. Bulu-bulu tipis lentik jadi penjaga sang tuan.

Aku terdiam di kilau rambut hitam bermahkota bunga anugerah  para dewa pada pesta kemarin.

Pada malam dan pagi kelopak laksana partitur, mengiring kata dan nada kupunya ke dalam renung.

Jagat raya berbaik hati. Membuka langit siang. Dijadikannya saksi ketika awan menjadi cermin.

Dapat kulihat  sekumpulan orang berkaca. Menatap wajah sendiri. Meratap-ratap sembari menunjuk wajah perempuan berkelopak itu.  

Mereka berkelahi dengan diri sendiri. Mereka telah kehilangan kelopak mata ketika magma dengki meluap, melelehkan kontur-kontur dan rona alam di wajah.

Sementara perempuan berkelopak mata itu terus berjalan. Menebar wangi. Tak lupa memboyong serakan amarah mereka. Dijadikannya bahan bakar tawa dunia.

Aku salah satu pemilik dunia. Dibalik awan aku tergelak-gelak, tanpa kehilangan kelopak mata.

--- 

Peb4/12/2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun