Tak pernah terlihat kelopak itu membuka. Rapat terkunci tawa dan tatap lembut dunia hingga gelombang air mata enggan meluap.
Di hadapan kelopak itu aku kehilangan nyali. Bulu-bulu tipis lentik jadi penjaga sang tuan.
Aku terdiam di kilau rambut hitam bermahkota bunga anugerah  para dewa pada pesta kemarin.
Pada malam dan pagi kelopak laksana partitur, mengiring kata dan nada kupunya ke dalam renung.
Jagat raya berbaik hati. Membuka langit siang. Dijadikannya saksi ketika awan menjadi cermin.
Dapat kulihat  sekumpulan orang berkaca. Menatap wajah sendiri. Meratap-ratap sembari menunjuk wajah perempuan berkelopak itu. Â
Mereka berkelahi dengan diri sendiri. Mereka telah kehilangan kelopak mata ketika magma dengki meluap, melelehkan kontur-kontur dan rona alam di wajah.
Sementara perempuan berkelopak mata itu terus berjalan. Menebar wangi. Tak lupa memboyong serakan amarah mereka. Dijadikannya bahan bakar tawa dunia.
Aku salah satu pemilik dunia. Dibalik awan aku tergelak-gelak, tanpa kehilangan kelopak mata.
---Â