Jadi elit politik harus punya banyak persediaan raut wajah yang berbeda. Kalau tidak, lebih baik jadi orang biasa saja.Â
Jelang pelantikan Joko Widodo/Ma'ruf Amin jadi Presiden dan Wakil Presiden suasana "gaul" ditingkat elit politik terlihat cerah. Ibarat sebuah penerbangan, cuaca cerah berawan biru, jarak pandang jauh dan jelas. Pilot bisa santai main game, atau tidur-tidur ayam di kokpit
Kalau beberapa hari ini anda rajin mengikuti berbagai siaran pemberitaan, dialog atau wawancara politik di televisi, akan tampak suasana santai, penuh canda, peluk sana-peluk sini antar elit politik yang berbeda partai.Â
Sejak Prabowo "reuni mesra kakak-adik" dengan Megawati, kemudian Prabowo ketemuan dengan Jokowi, dilanjutkan safari politik ke partai-partai koalisi Jokowi, seperti Nasdem, PKB, dan Golkar terlihat sebuah suasana baru politik elit lebih adem dibandingkan beberapa bulan lalu. Sudah bertobat kah mereka?
Padahal kalau kita mengingat kembali beberapa waktu ke belakang, terutama masa jelang Pilpres dan pasca Pilpres, tiada hari tanpa pernyataan pedas saling serang antar kubu 01 dan kubu 02, baik terhadap partai atau tokoh/elit politik.
Masa saling serang jadi menu harian di ruang publik lewat pemberitaan media mainstream, sehingga dunia politik seolah identik dengan permusuhan antar kelompok yang berbeda preferensi politik.
Dua kubu, yakni kubu 01 dan kubu 02 bagai dua kutub tolak menolak yang abadi. Keduanya bagai musuh besar yang tak bisa berteman. Ibarat filem kartun, seperti Tom dan Jerry. Siapa yang diposisi Tom atau Jerry tergantung cara pandang masing-masing kubu.
Kalau saja sejak dulu dunia politik negeri ini damai, selalu damai terbangun kebersamaan di tingkat elit--tanpa meniadakan sikap kritis pada kawan atau lawan politik maka upaya pembangunan bangsa dan negara bisa lebih optimal.
Energi rakyat bisa lebih hemat, efektif dan fokus mendukung percepatan pembangunan.Â
Rakyat tidak saling berkelahi memperebutkan pepesan kosong dari provokasi para elit politik, atau pernyataan saling serang antar para pendukung dan junjungan politik.
Kultur paternalistis yang dominan pada masyarakat kita secara sadar atau tidak sadar mempengaruhi cara mereka melihat elit politik sebagai "patern". Mereka masih kuat mengikuti saja "apa kata" orang tua atau pemimpin formal dan nonformal.
Masyarakat cenderung menjadikannya panutan atau junjungan tanpa syarat. Tanpa sikap kritis. Salah benar pemimpin harus dibela--dengan cara menyerang pihak lain--sehingga relasi sosial kemasyarakatan di dunia nyata dan maya jadi tidak harmonis.
Kalau dikaitkan adigium "Politik itu cair", kenapa baru sekarang mereka "cair"? Kenapa cair setelah masyarakat terbelah? Apakah para elit politik sudah bertobat setelah melihat masyarakat terbelah?
Masih banyak pertanyaan bisa muncul terkait sikap "mendadak bersahabat" dan "wajah cerah" para elit politik tersebut. Banyak dugaan bisa diuraikan.Â
Cair diartikan terpenuhinya kepentingan politik praktis atau target pragmatis kelompok. Masing-masing memiliki agenda "tersembunyi" lewat wajah cerah jelang pelantikan serta pernyataan dukungan pada presiden terpilih.
Terlebih, pasca pemerintahan Jokowi/Amin tahun 2024 nanti sangat krusial untuk meraih kekuasaan.Â
Mereka telah membaca psikologi masa bahwa membangun kedamaian dan pertemanan dengan lawan politik sehingga diharapkan bisa meraih simpati rakyat dan menaikkan pamor partai/kelompok. Mereka berharap bisa masuk dalam kabinet, atau pos-pos penting lain yang kiranya bisa memberikan energi besar untuk kontestasi Pilpres 2024.
Energi itu bisa berupa dana, aksesibilitasa ekonomi-sosial kemasyarakatan, citra atau pengaruh publik, dan lain sebagainya melalui kalkulasi politik yang seringkali tidak dipahami publik awam.Â
Apapun itu, realitas politik di tingkat elit memang demikian. Namun kita sebagai rakyat tetap menginginkan suasana kondusif ditingkat elit politik itu merupakan habitus baru pelaku politik negeri ini.
Pertemanan dan wajah cerah mereka bisa terus berlanjut, sehingga mampu memberikan pengaruh terciptanya rasa damai dan mempekokoh persatuan dan kesatuan di tingkat akar rumput, yakni rakyat secara keseluruhan.Â
Kalau para elit politik itu bisa saling baikan kembali, kenapa kita tidak?
"Benarkah itu Oma?"
"Benar, Ani! Jangan pernah ragu"
"Aku sih rapopo, Oma.."
---
Peb17/10/2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H