Dalam suatu kesempatan, saya bersama beberapa kolega makan di warung depan kampus ternama di negeri ini. Warung itu berada pada pedestrian yang harus berbagi dengan para pedagang makanan. Deretan warung itu ramai dikunjungi mahasiswa karena dekat kampus, banyak pilihan, enak dan harganya sesuai kantong mahasiswa.
Kami menikmati minuman, sambil menunggu pesanan makanan kami melanjutkan diskusi teori-teori langit ketujuh nan mumet yang tadi kami perbincangkan ketika berjalan dari kampus ke warung itu. Saya sebenarnya sudah tidak bisa konsen pada pembicaraan  teori langit ketujuh itu karena lapar dan haus.
Lalu telinga nakal saya tak sengaja mendengar pembicaraan kumpulan adik mahasiswa yang duduknya tak jauh dari kami. Mereka terlihat heboh, rame, kompak, gaul. Saya menduga mereka adalah mahasiswa program S1.
"Eeh, kamu tau nggak! Jadi laki-laki itu mesti pintar, lalu jadi kaya, barulah kelihatan ganteng. Kalo jadi perempuan sih nggak penting pintar, yang penting cantik. Bakal dapat laki-laki kaya." Begitulah satu penggalan pernyataan mereka yang saya dengar - yang kemudian ditimpali rekan-rekannya yang lain. Terdengar santai tapi juga serius.
Kalimat itu bikin saya ingin tertawa geli karena unik dan terdengar lucu, sekaligus menohok termakna satire di pemahaman saya. Saya kok jadi pengen terus nguping pembicaraan mereka.
Saya lihat, satu orang kolega saya juga sepertinya mendengar pembicaraan para mahasiswa tadi. Namun dia kembali fokus pada pembicaraan teori kelas tinggi yang sedang kolega saya yang lain sampaikan.
Saya tadinya ada keinginan memotong "pembicaraan ilmiah" kami, untuk sejenak sama-sama mendengarkan kumpulan mahasiswa unyu-unyu tadi. Tapi saya urungkan, gak enak hati, dan demi menjaga suasana "keilmiahan" bersama yang sudah terbangun. Heu heu heu...
Kembali ke hasil nguping pembicaraan mahasiswa unyu-unyi tadi, nampaknya mereka sedang bicara karier setelah lulus kuliah. Mereka membandingkan beberapa kawan dan kakak kelas yang sudah lulus kuliah, dapat pekerjaan di perusahaan besar, gaji tinggi, dan mendapatkan istri cantik.
Padahal waktu jaman kuliah tampang teman dan kakak kelas mereka itu "ancur secara morfologi".
Mungkin istrinya yang cantik nggak bakal kebayang gimana tampangnya jaman kuliah. Jangankan melirik, lewat depan dia pun mungkin tak bakal mau. Kucing di kost-kostan kami pun emoh mendekat. Ups! Hahaha! Inilah hidup, soal nasib ke depan tak ada yang tahu, bukan?
Saya kemudian teringat pada seorang teman yang lain yang waktu jaman kuliah berpenampilan selalu necis, wangi, pakaiannya merk terkenal, dan secara fisik dia memang lelaki rupawan.  Selain pandai bergaul, tidak sombong, dia juga pandai memikat lawan jenis.Tak heran banyak ceweknya. Kami teman-teman dekatnya mengakui semua  "keunggulan"nya itu. Mau apa lagi?
Kami, beberapa teman dekatnya sering menjadikan dia "Bank Berjalan" karena kalau lagi tanggal tua sering pinjam duit hanya untuk makan sampai kiriman orang tua datang pada awal bulan. Untuk urusan membantu kawan, dia nomor satu rasa sosial setia kawannya.
Namun apa yang terjadi setelah puluhan tahun kemudian? Saya (dan beberapa kawan) pernah ketemuan. Dia terlihat kucel, kulit tidak kinclong lagi, pakaian dan propertinya tanpa merk bahkan terkesan seadanya. Dia bekerja serabutan, apapun dia kerjakan asal ada duitnya walau recehan. Penampilannya jauh merosot dari bayangan awal. Satu lagi, istrinya biasa-biasa saja, tidak cantik.
Teman saya ini relatif malu ikut kumpul-kumpul (reuni kecil) dengan teman angkatan, kecuali teman-teman dekatnya dulu.
Kembali ke laptop. Benarkah lelaki akan terlihat ganteng kalau kaya? Benarkah perempuan tak perlu pintar yang penting cantik, maka bakal dapat suami kaya dan "ganteng"?
Apakah kriteria ganteng bersifat nge-tren, artinya akan berubah sesuai tren - berdasarkan kecenderungan tertentu pada suatu masa tertentu?
Ini pertanyaan sederhana. Saya tidak bisa menjawabnya secara pasti, namun pengalaman atau perjalanan hidup memang seringkali membawa kepada arah menuju jawaban empiris atas pertanyaan itu.
Hal pertama adalah menentukan kriteria ganteng, apakah berdasarkan kepemilikan materi (kekayaan), tampang (wajah dan postur tubuh), perilaku, kepintaran atau yang lainnya?
Kalau materi dikaitkan dengan tampang mungkin bisa ada hubungannya untuk meng-upgrade tampang ancur, yakni dengan perawatan wajah, tubuh, kalau perlu operasi plastik. Gigi yang tidak rata agak moncong atau ompong bisa jadi rata dan "bergigi banyak", hidung tidak mancung bisa dimancungkan, dan lain-lain. Belum lagi soal  busana yang bisa dibikin pas di badan (dibuat khusus oleh designer), suka pakai merk terkenal, dan segala properti lainnya.
Kalau materi dikaitkan dengan bahasa tubuh (penampilan), bisa saja dipermak di sekolah kepribadian dan berbagai pelatihan resmi terkait jabatan/pekerjaan.
Semua itu butuh modal atau uang yang tidak sedikit. Untuk mendapatkan uang banyak maka harus bekerja di perusahaan besar dengan gaji tinggi, atau memiliki perusahaan sendiri yang sukses. Maka, kegantengan akan terwujud, dan istri cantik akan didaptkan. Benarkah demikian?
Obrolan para mahasiwa unyu-unyu tadi memang cukup menggelitik. Saya menduga mereka menggunakan kriteria materi untuk "bisa ganteng dan dapat istri cantik".
Saya jadi tersipu malu, mengingat saya ini ganteng sejak lahir, tapi kenapa tidak kaya? Berarti kegantengan saya palsu. Apakah karena cuma bekerja di kampus dan bergaji PNS sehingga gagal meraih hati Raisa atau Syahrini? Heu heu heu.
Eeeh... saya kaya kok! Tulisan saya di Kompasiana udah 1200an buah! Belum lagi di blog tetangga. Aah...syukurlah. Kalau begitu aku sih rapopo, Marimar...eeh Esmeralda, eeh Casandra! Heu heu heu...
---Â
Peb31/04/2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H