Atau bisa juga anda membuat data sendiri, yakni dengan mendengarkan cerita "curcol" pengalaman saya ketika berbicara dengan kawan saya tersebut. Iiih sebel deh si anu. Aaaw!
Banyak orang seringkali salah kaprah pada pemahaman "imaginasi", khususnya dalam dunia tulis menulis. Imaginasi dipahami "hanya khayalan". Tanpa fakta. Tanpa pengalaman empiris. Tanpa informasi. Tanpa data.
Pemahaman tersebut tentu saja tidak tepat. Imaginasi "memang khayalan", tapi bukan  semata sebuah rekaan. Bukan hanya kreasi. Bukan hanya "bagai durian tiba-tiba jatuh dari langit tanpa tanda-tanda awal".
Bahkan sebuah tulisan berita atau reportase---yang berisi "apa yang dilihat dan di dengar langsung si reporter kemudian ditulis tanpa menambah atau mengurangi kenyataan atau fakta"---tetap membutuhkan imaginasi. Setidaknya dalam pemilihan diksi dalam tulisan reportase.
Sebagai contoh, anda mendapatkan informasi dari beberapa orang bahwa Pebrianov sedang kongkow ngopi dengan Jokowi dan Prabowo di sebuah warung kopi.
Kemudian anda mengambil posisi duduk di dekat meja ketiga orang tersebut. Anda memotret dan merekam semua pembicaraan mereka.
Ketiga orang tadi ngobrol santai, akrab. Terlihat penuh bercanda. Sesekali Prabowo berjoget. Sesekali Jokowi ketawa nyengir sambil berkata "aku rapopo". Sementara Pebrianov tertawa heu..heu..heu sambil tertunduk malu! Mereka bertiga ngobrol soal pencalonan si Pebrianov untuk jadi admin Kompasiana  tahun 2222.
Semua bisa anda tuliskan. Dari soal materi pembicaraan, soal gaya bicara dan gimik (gymmick) masing-masing person, soal pakaian yang digunakan, soal suasana warung kopi, dan lain-lain dalam bentuk rangkaian tulisan reportase.
Apa yang ada di tulisan "reportase" tersebut menjadi "data tertulis". Hasil reportase menjadi "data sekunder" bagi para pembacanya untuk kemudian membangun opini tentang hubungan Pebrianov, Jokowi dan Prabowo, tentang rencana besar mereka, dan lain sebagainya.
Pembaca laporan anda itu membutuhkan imaginasi saat menuliskan opini mereka!