Imaginasi dan Anggapan yang Tidak Tepat
Saya kaget dengan penyataan teman saya itu. Menurut saya dia benar, tapi tidak tepat. Benar bahwa menulis (fiksi) itu butuh imajinasi. Tapi sangat tidak tepat mengatakan menulis artikel politik tak membutuhkan imajinasi.
Harus saya akui, lamanya proses yang dia lakukan tak sia-sia. Fiksi yang ditulisnya selalu hidup dan menarik. Karya fiksinya bisa membawa para pembacanya larut dalam setiap debur emosi yang dia ciptakan dari diksi-diksi yang sangat cermat ditulisnya.
Proses yang dia lakukan dengan proses yang saya lakukan jelas berbeda. Untuk menulis artikel politik saya membutuhkan data.
Dari situ kemudian saya mengambil tema tertentu untuk dijadikan sudut pandang (fokus opini). Kelak akan saya temukan judul yang "seksi". Ketika tema sudah saya dapatkan, baru lah saya mulai menulis. Dalam proses menulis itulah imajinasi saya "bermain".
Suatu data saya olah. Saya bandingkan dengan data lainnya, (berbagai berita dan fokus berita), misalnya OTT KPK terhadap Romi  banyak fokus ceritanya. Misalnya fokus pada kronologis penangkapan, fokus situasi tempat penangkapan, fokus pada kegiatan saat penangkapan, fokus pada saksi awam saat penangkapan, dan lain-lainnya.
Dari semua itu saya mencoba memaknai data. Saya membangun imajinasi tentang semesta OTT Romi untuk bisa memaknai data.
Dari situlah saya menulis kalimat demi kalimat artikel. Untuk menuliskan sebuah kalimat itu, lagi-lagi saya butuh imajinasi. Saya harus menemukan kata, merangkaikannya agar mudah dipahami.
Transformasi dari pemahaman data dan pemaknaan semesta data (isu) ke rangkaian kalimat itulah membutuhkan imaginasi. Sangat komplek dan perlu konsentrasi.
Â
Saya menulis sebuah artikel politik tidak sampai berhari-hari. Seringkali tak lebih satu jam. Saat habis makan, sambil "wasting time" sebagai ahli hisap atau pakar asap, saya bisa menulis cepat bila sudah punya tema.
Selain itu data-data isu tertentu soal politik sudah terekam banyak di kepala, karena  sering mengikuti pemberitaan politik dari berbagai media.