Di situ, para tokoh Islam atau pemimpin umat menggambarkan kepada umat atau pengikutnya bahwa  Prabowo sebagai tokoh Islam. Prabowo pemimpin yang bisa membela kepentingan Islam.Â
Disisi lain, pada masyarakat akar rumput menerimanya tanpa syarat atau merimanya secara tidak kritis karena memegang pakem bahwa umat tidak boleh mengkritik pemimpin umat karena hal itu "berdosa", dan "dijauhkan dari surga".
Padahal, dalam ruang privat tingkat elit, tak luput dari  kepentingan pribadi mereka. Hal ini tidak sepenuhnya dipahami para umat atau masyarakat di tingkat akar rumput. Kelompok umat atau masyarakat tersebut menyerahkan sepenuhnya kehidupan religi dan masa depan politiknya kepada sejumlah tokoh Islam di tingkat elit yang digaet Prabowo dalam perpolitikan Islam-nya.
Soal nihilnya kiprah keislaman Prabowo pada masa lalu dalam masyarakat Islam tak lagi dipersoalkan, baik oleh para tokoh Islam maupun pengikutnya--masyarakat tingkat bawah.
Cara politik Prabowo dalam memanfaatkan sentimen keislaman telah menjadi fenomena tersendiri di dalam peta politik dalam negeri. Pada satu sisi, hal itu menambah khasanah pengetahuan politik masyarakat.Â
Namun di sisi lain, bila hal tersebut tidak menjadikannya sebuah pembelajaran berharga masa kini untuk masa depan, maka bisa mendegradasi dunia demokrasi dalam negeri dan pemahaman politik masyarakat, khususnya kelompok masyarakat Islam di tingkat arus bawah.
Pada masa datang, konsepsi ini bisa menjadi "cetak biru" yang menjadi pegangan bagi tokoh politik lain yang keislamannya "samar-samar" untuk memainkan politik  identitas keagamaan. Dengan catatan ; tingkat pemahaman politik masyarakat Islam di tingkat arus bawah tidak berubah, atau tetap seperti sekarang ini.
Tapi sampai kapan cara berpolitik seperti ini diterapkan di negara kita?
----
Peb2/03/2019Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H