Soal "gusur paksa" dan "perampasan" tanah rakyat oleh pemilik modal yang dekat dengan kekuasaan adalah hal klasik pada masa lalu. Rakyat tak berdaya mempertahahankan haknya atas tanah yang dimiliki secara adat dan turun temurun, walau sudah memiliki surat keterangan adat. Mereka secara administratif pertanahan tidak memiliki sertifikat tanah sehingga secara hukum dikalahkan kepentingan pemilik modal besar yang berkolaborasi dengan pemerintahan yang korup atas nama pembangunan. Misalnya, dalam bidang kehutanan yang memuat potensi lahan maha luas di seluruh Indonesia.
Awal Penguasaan Lahan Berskala Besar
Alkisah, Â penguasaan lahan berskala besar dimulai pada masa Orde Baru yang mulai berkuasa tahun 1966---sampai menjelang akhir kekuasaan tahun 1998. Pada masa itu banyak lahan dikuasai "orang-orang pusat". Siapa "Orang Pusat" itu? Mereka adalah orang yang bisa dekat dengan pusat kekuasaan Orde Baru.
Ketika pemerintahan Orde Baru mulai berkuasa tahun 1966, kondisi rakyat masih miskin. Untuk membangun negara, tentu membutuhkan dana besar. Beruntunglah, negara kita kaya sumber daya alam dan lahan yang luas. Salah satu cara mendapatkan modal untuk pembangunan adalah mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam secara besar-besaran.
Pada umumnya penguasaan lahan besar terjadi di daerah di luar Pulau Jawa karena memiliki lahan yang luas dan punya nilai jual yang tinggi. Mudahnya mereka mengambil lahan (mungkin) karena orang-orang di luar Pulau Jawa mudah ditakuti-takuti dengan kata "Pemerintah Pusat" yang pada masa itu didukung ABRI (TNI) secara masif. Bila masyarakat menolak maka akan dianggap penentang pemerintah dan bisa dicap PKI.
Stigma PKI pada masa Orde Baru sangat mengerikan. Anggota masyarakat terkena stigma PKI bisa "dihilangkan" tanpa ada proses hukum, kehidupan anak cucunya akan dipersulit. Di sisi lain, kuatnya peran ABRI menjadi beking "orang pusat" atau investor Orde Baru tak lepas dari rancunya dokrin "Dwi Fungsi ABRI"--dengan turut sertanya ABRI berbisnis sumber daya alam, baik kehutanan, pertambangan dan lain sebagainya.Â
Konon hal itu dilakukan untuk menambah kesejahteraan para  anggota ABRI, dari jenderal sampai prajurit, sekaligus mengikat loyalitas mereka pada rezim Orde Baru yang otoriter dan sangat dokrin-isme. Benarkah? Heu heu heu...
Sikap permisif orang di daerah juga karena dalam memulai proyek, umumnya pihak perusahaan menjanjikan akan memperhatikan kepentingan masyarakat setempat. Orang daerah berpikiran investor "orang pusat" akan berperan mengubah taraf hidup ekonomis mereka. Mereka melihat, perusahaan "orang pusat" itu datang dengan sikap baik kepada pemuka adat, dan mengajak serta penduduk lokal untuk turut serta dalam kegiatan HPH.
Adapun landasan  hukum yang digunakan pemerintahan Orde Baru adalah UUD 45 pasal 33, khusunya pasal [3] bahwa "bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".Â
Selain itu ada Undang-Undang No.5 tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan, Peraturan Pemerintah (PP). No. 21 tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), serta Undang-Undang Agraria tahun 1960.
Undang-Undang Agraria itu melarang masyarakat adat menggunakan hak-hak kolektif mereka untuk menghalangi pemberian Hak Guna Usaha para investor dari pusat, walau masyarakat adat tersebut telah lama yang "menguasai" lahan setempat secara turun-temurun