Lebih baik tetap tidak diberikan. Soal ancaman sia anak, tentu si Ayah sudah mengantisipasinya seoptimal mungkin karena Ayah punya kewajiban melindungi anaknya sekuat tenaga yang dia bisa.
Apabila kemudian terjadi sesuatu yang paling buruk pada anak ketika lolos dari pengawasan dan pengajaran Ayahnya, maka itu sudah menjadi "takdir" si Anak.
Dari kisah Ayah dan Anak tadi dikorelasikan dengan perintiwa aktual yakni ketika seorang perempuan aktivis politik  "mengancam" Tuhan. Apakah Tuhan keder? Apakah Tuhan takut kemudian buru-buru mengabulkan permintaan politis si aktivis?
Tuhan adalah ranah sakral. Sedangkan "ancaman" berupa doa sekalipun masih merupakan ranah profan (duniawi) karena manusi di dunia hakekatnya  adalah bagian dari profan.
Manusia tidak bisa menentukan atau mengetahui rencana Tuhan yang berada di ranah sakral.
Namun demikian, bila kita mau belajar dari berbagai fenomena profan (duniawi) maka ada peristiwa yang memuat pesan sakral. Ada teladan dan mukjizat yang tak bisa direncanakan dan tak bisa dilakukan manusia. Di situlah Tuhan menggambarkan dirinya. Bagaimana mengetahuinya? Dari narasi-narasi kebaikan, baik itu kitab suci, pesan bijak, dan lain sebagainya.
Ancaman kepada Tuhan dan sang Ayah bisa menjadi gambaran yang sama bila cara berpikir kita tetap menggunakan cara profan--sebuah cara duniawi. Karena kita (manusia) belum sampai pada cara sakral, sebuah dunia suci yang sesungguhnya.
Ancaman Neno Warisman si perempuan aktivis politik kepada Tuhan adalah cara duniawi, bisa analog dengan ancaman kepada sang Ayah yang dikisahkan tersebut.Â
Hal itu bukan berarti Tuhan sederajat dengan sang Ayah. Substansinya adalah pada "cara mengancam" yang dilakukan level manusia, yakni si Anak bandel dan seorang perempuan aktivis politik.
Kalau aku yang diancam manusia, aku sih rapopo.
---