Demokrat bergabung pada saat-saat akhir pendaftaran koalisi ke KPU, kubu Prabowo/Sandi (Koalisi Adil Makmur) pada saat itu sebenarnya tidak butuh tambahan partai lain karena syarat mengajukan capres/cawapres sudah tercukupkan. Sementara Demokrat, sangat butuh naungan koalisi untuk keberlangsungan hidup partainya di masa depan.
Untuk bergabung dengan Jokowi, pintu sudah tertutup karena "faktor sejarah" relasi personal Megawati dengan SBY tidak harmonis. Selain itu, konon, karena faktor "tuntutan posisi" SBY yang terlalu tinggi bagi  AHY di dalam kubu Jokowi.
Dalam situasi terdesak waktu, Demokrat akhirnya masuk kubu Prabowo/Sandi yang masih buka pintu kepada semua elemen politik termasuk Demokrat, walau sebenarnya relasi personal SBY dengan Prabowo pun tidak begitu baik terkait "sejarah" mereka semasa pendidikan di Akmil dan peristiwa pemberhentian Prabowo dari ABRI (TNI) karena kasus kerusuhan 1998. Â Saat itu Prabowo menjadi "pesakitan" di hadapan superioritas SBY.
Beruntunglah Demokrat karena Prabowo masih memiliki "jiwa besar" untuk menerimanya. Namun masuknya partai Demokrat  ke kubu Prabowo/Sandi terkesan "dianggap tak butuh-butuh amat" oleh koalisi Prabowo/Sandi.Â
Di koalisi tersebut, posisi tawar politis Demokrat lemah, walaupun Demokrat memiliki  amunisi politik sangat besar, misalnya : pengalaman jadi pemerintah selama 10 tahun, kader-kader partai yang hebat, dan memiliki seorang "pemain bintang" baru yang banyak menarik perhatian publik, yakni; AHY.
Potensi amunisi politik Demokrat yang besar itu tak membuat Koalisi Adil Makmur silau, karena sosok Prabowo sangat sentral. Disamping itu jasa besar Sandiaga Uno dengan "kardusnya" Â telah "berdarah-darah" menundukkan "rengekan panjang" PAN dan PKS untuk jadi cawapres. Dengan kata lain, saat itu kubu Prabowo sudah 'mapan' menghadapi Pilpres 2019.
Terbukti, rayuan PKS dan PAN yang loyal padanya sejak Pilpres 2014 tak mampu meluluhkannya untuk dapatkan jatah wapres. Selain itu, Ijtima Ulama yang konon "sakral" diabaikan Prabowo dengan santainya. Kemudian ketika Prabowo lebih memilih Sandiaga Uno--yang notabene "masih bau kencur dalam pentas politik nasional" sebagai wapres. Tak ada yang berani memprotes Prabowo
Sementara Sandiaga Uno sendiri dalam Pilpres 2019 ini juga sedang menabung pengaruh dan akses untuk masa depan politiknya (investasi politik). Dia masih muda. Punya kesempatan maju ke Pilpres 2024 mendatang.
Di sisi Demokrat, SBY sudah terbiasa jadi pemimpin. Beliau punya kapasitas untuk itu. Dia pernah jadi sosok sentral koalisi Demokrat saat pilpres 2009 lalu yang memenangkan dirinya. Namun dalam Koalisi Adil Makmur, dia mentok pada sosok sentral Prabowo. SBY ditempatkan bukan sebagai orang istimewa. Bukan sebagai leader. Bukan sebagai sentral tim kubu Prabowo/Sandi.
Selain itu, di Demokrat ada AHY yang merupakan putera mahkota yang akan diorbitkan pada kontestasi Pilpres 2024 mendatang. Pilpres itu merupakan era baru politik pasca persaingan klasik Prabowo vs Jokowi yang akan habis masa edarnya.