Kabar tentang tujuh kontainer surat suara tercoblos jadi "mega hoaks" atau hoak terbesar awal tahun 2019 yang bikin geger negeri ini.
Lembaga terkait, baik itu Kepolisian, KPU, Bawaslu, lembaga politik dan lembaga publik lainnya dibikin sibuk. Bagaimana tidak? Biarpun surat suara tercoblos itu ternyata tidak ada alias "cuma" kabar hoaks, tapi penelusuran dan pengaruh atau dampaknya tidak akan berhenti sampai disitu.
Berbeda dengan sejumlah "mini hoaks" terkait pilpres yang seringkali bersliweran di media sosial yang hanya jadi konsumsi perang netizen--akan hilang begitu saja usai perdebatan maya--namun kali ini "mega hoaks" akan ada kelanjutannya, yakni pencarian aktor intelektual penyebar hoaks tersebut.
Konon sumber kabarnya dari grup Whatsapp, kemudian "promosi" ke media Twitter. Lewat akun twitter Andi Arief (elit politik partai Demokrat) dan Ustad Tengku Zulkarnain (Wakil Sekjen MUI), kabar itu membesar dan bikin heboh.
Secara "de facto", kedua orang tokoh tersebut merupakan "aktivis twitter" yang sudah sangat terkenal di dunia maya negeri ini. Mereka memiliki banyak follower, dan seringkali mengeluarkan/menulis "status" twitter yang kontroversial yang bikin heboh dan polemik politik khususnya di tahun politik jelang Pilpres 2019.
Namun demikian, soal kabar tujuh kontainer surat suara tercoblos, keduanya mengelak sebagai sumber hoaks. Mereka membela diri. Dengan mengabarkan hal tersebut via twitter, mereka ingin publik jadi tahu dan pihak berwenang segera menanganinya. Mereka ingin pemilu berlangsung jujur dan adil. Dengan begitu bisa "menyelamatkan" politik negeri ini.
Pertanyaannya, benar kah mereka murni ingin memberitahukan pihak berwenang (KPU, Bawaslu dan kepolisian)? Apakah ada motif lain yang lebih besar demi keuntungan politik kelompoknya?
Pertama, seolah tim capres Jokowi-Ma'ruf Amin yang membuat surat suara tercoblos karena surat suara yang tercoblos adalah pasangan Capres nomor 01 yakni Jokowi-Ma'ruf Amin. Jadi, secara moral dan politik merugikan pasangan capres Jokowi-Ma'ruf Amin.
Kedua, merusak nama baik relasi perdagangan Indonesia dengan negara China. Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi, hubungan dagang dan investasi pembangunan banyak dilakukan dengan negara China.
Banyak pihak di dalam dan luar negeri yang tidak setuju, tidak suka, dan bahkan menentang keras arah kebijakan Jokowi yang menggandeng China dalam berbagai proyek pembangunan di Indonesia. Dengan adanya (hoaks) tujuh kontainer surat suara dari China, nama baik pemerintahan Jokowi jadi tercemar, demikian juga pemerintah China.
Ketiga, merusak nama baik KPU selaku penyelenggara Pemilu di Indonesia. Kabar tujuh kontainer surat suara tercoblos berpotensi menimbulkan ketikdakpercayaan publik pada kemampuan KPU menyelenggarakan Pemilu secara adil. Kubu capres beserta publik pendukungnya yang kalah dalam pemilu 2019 kelak akan menuding Pemilu tidak adil. KPU tidak netral. KPU berpihak pada petahana, dan lain sebagainya.
Keempat, Kubu capres Prabowo-Sandi pun sebenarnya dirugikan. Sejumlah peristiwa besar tahun lalu di internal kubu Prabowo, seperti "Jenderal Kardus", "Indonesia Bubar 2030", "Operasi Plastik Ratna Sarumpaet", "Tahu setipis ATM" dan lain-lain membuat publik heboh dan meragukan integritas politik kubu Prabowo.Â
Dengan adanya kabar hoaks "tujuh kontainer surat suara tercoblos" maka mata publik akan tertuju pada kubu Prabowo. "Jangan-jangan ini ulah kubu Prabowo". Begitulah yang mungkin muncul di benak publik.
Secara redaksional, Andi Arief mungkin sudah benar. Dia tidak menuliskan pernyataan mengajak publik mempercayai atau meyakini ada tujuh kontainer surat suara tercoblos. Status twitter-nya sulit dibawa ke ranah hukum positif yang berlandaskan alat bukti langsung dan nyata pelanggar hukum.
Kabar tujuh kontainer surat suara tercoblos merupakan "Aksi Politik Tanpa Tuan" yang sengaja di hembuskan seseorang atau "kelompok anu" dengan tujuan politik. Aksi itu sudah memperhitungkan bisa menghindar jerat hukum bagi netizen yang mengabarkannya di media publik.
Aksi politik punya kemiripan dengan permainan bilyar. Bola utama (Cue Ball) disodok seorang pemain ke kumpulan bola (Objects Ball) tidak dimaksudkan untuk langsung masuk lubang (pocket), melainkan ada sejumlah singgungan sejumlah bola lain. Dari singgungan itu, targetnya adalah masuknya bola-bola yang memiliki point besar atau mempunyai potensi memudahkan kesempatan untuk melakukan banyak sodokan lanjutan secara berurutan.
Satu hal lagi, bilyar menganut cara "Salome" atau Satu Lobang Rame-rame. Artinya bila memungkinkan, poin bisa juga diraih secepatnya pada satu lobang saja. Sejumlah bola disodok dan dimasukkan pada satu lubang (pocket).
Kabar "surat suara tercoblos" dan "datangnya dari China" dalam satu kumpulan besar merupakan Object Ball yang memiliki point besar. Disinilah "Aksi Politik Tanpa Tuan" itu akan meraih keuntungan politiknya.
Jadi, kabar tujuh Kontainer surat suara tercoblos datang dari China hanyalah alat atau kendaraan untuk menuver politik semata. Namun secara logika, jumlah tujuh kontainer (sekitar 70 juta) surat suara tercoblos sangat tidak mungkin beredar dan menjadi alat kecurangan pemenangan pasangan capres Jokowi-Ma'ruf Amin, mengingat bahwa sistem Pemilu di Indonesia yang berlapis, baik birokrasi maupun para pihak penyelenggara di lapangan (KPU, Bawaslu, Saksi Parpol, Kepolisian).
Tujuh Kontainer bukanlah barang kecil yang mudah lewat begitu saja di sistem pelabuhan resmi Indonesia. Setiap barang dalam jumlah besar yang datang dari luar negeri tak akan lepas dari pemeriksaan dan pengawasan.
Sekarang publik tinggal menunggu siapa pemain utama penyodok "bola bilyar" surat suara tercoblos itu walau aksi tersebut sampai saat ini masih merupakan "Politik Tanpa Tuan".Â
Semoga pihak aparat hukum bisa secepatnya menemukan si pemain hoaks tersebut. Kalau ternyata besok ditemukan, aku sih rapopo.
Peb 5/01/2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H