Apalagi dalam setiap kesempatan kampanye, Prabowo dan Sandi selalu mengklaim bahwa "negara Indonesia sedang kritis" baik soal ketersediaan pangan, kemandirian pangan, tenaga kerja, jaminan sosial dan lain sebagainya----yang semua itu pada jaman Orde Baru tidak pernah terjadi. Dalam klaim mereka, Orde Baru mampu membuat rakyat hidup tenang dan nyaman.
Membawa roh Orde Baru ke dalam kampanye Gerindra telah menjadi pukulan telak tersendiri bagi Demokrat yang dilakukan oleh Gerindra, rekan satu tim. Demokrat seolah-olah tidak dianggap karena bagaimanapun Demokrat pernah berkuasa 10 tahun mensejahterakan rakyat Indonesia dengan konsep reformis : transpran, penuh kepedulian pada rakyat kecil, demokratis, dan lain sebagainya--yang Demokrat klaim jauh lebih baik dari era Orde Baru yang otoriter itu.
Di ruang publik secara nyata Gerindra menggaet Partai Berkarya, Prabowo "merangkul" Titiek Soeharto memberi ruang kepadanya untuk menyuarakan panji-panji Orde Baru. Uniknya manauver Gerindra, bukannya mereka menggaet Demokrat dan merangkul AHY yang punya pesona tersendiri untuk menyuarakan kehebatan rezim SBY. Hal tersebut membuat Demokrat bagai tak ada nilainya dalam koalisi.
Akankah hal itu terus berlanjut, yakni Gerindra "memperlakukan secara tidak hormat" Demokrat sepanjang umur Koalisi Adil Makmur? Apa yang diterima Demokrat selama ini dari Koalisi Adil Makmur tak lebih sebuah "siksaan'' belaka.
Sulit bagi Demokrat untuk tampil lebih elegan yang bisa memperbanyak kursinya di parlemen agar eksis pada periode 2019-2024, dan kemudian meraih peluang puncak kekuasaan tahun 2024-2029. Melihat semua itu, kalau aku sih rapopo....
----
peb21/11/2018
Referensi berita :satu, dua,tiga, empat,lima
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H