"Memang SBY menjanjikan kampanye untuk Prabowo, tetapi silahkan ditanya ke Pak Prabowo berapa janji yang belum dipenuhi ke Demokrat dan SBY" (Andi Arief, sumber)
Janji tak semata milik orang berutang (debitur) kepada pemberi hutang (kreditur). Si pemberi utang akan sangat mallezz mendengar kata "ntar, ya","nanti, ya","sabar, ya", "minta waktu lagi", yang keluar dari bibir tergugup pihak debitur. Hal itu bikin si kreditur serba salah.Â
Kalau debiturnya dikasari oleh si kreditur, kemudian terjadi apa-apa, maka bisa jadi piutangnya hilang begitu saja. Sementara bila ditagih, maka si kreditur harus makan hati gemmezz ditemani si Sabar, Nanti dan Ntar.
Janji juga bukan hanya dunia percintaan sepasang kekasih yang sedang dimabuk asrama. Di dunia cinta itu ada adigium "lelaki itu dipegang janjinya, sedang perempuan dipegang hatinya....". Hiks...jadi melow, jadi pengen ikut pegang...!
Tapi kini, janji telah merambah ke sektor lain, yakni Politik. Di situ janji mendapatkan panggung tersendiri yang strategis, yang mampu memberikan rasa senang si pemberi janji dan penerima janji. Posisi "janji" bisa dibelakang panggung yang bersifat tertutup, bisa juga di depan panggung---yang terbuka. Semua tergantung kebutuhan para pihak penyuguh dan penikmat janji.
Bisa dimaklumi, karena hakekat janji adalah kesepakatan dua pihak secara privat dalam dimensi ruang dan waktu. Sementara kalau 'janji' bersifat go public, itu merupakan turunannya dan sudah mengalami komodifikasi. Politik tanpa komodifikasi bisa mengakibatkan "bunuh diri".Â
Prabowo dan SBY adalah dua orang hebat yang punya kedekatan satu sama lain. Tapi mereka bukan sepasang kekasih. Bukan pula berposisi debitur dan kreditur. Tapi mereka ternyata punya janji satu sama lain. Hal itu baru terungkap setelah perseteruan partai Gerindra dan Demokrat mencuat ke ruang publik dan jadi memanas.
Kini publik tahu, ada saling janji diantara Prabowo (Gerindra) dengan SBY (Demokrat). Sebelumnya publik tidak tahu karena pada posisi politis, janji keduanya dilakukan di belakang panggung. Tentunya berdasarkan pertimbangan politis pula.
Sayangnya terkait janji Prabowo dan SBY, hubungan Gerindra dengan Demokrat jadi memanas. Apa pasal?
Diberitakan terjadi saling tuding silang pendapat dan saling tagih janji antara kader Gerindra dan Demokrat. Sebelumnya, Sekjen Partai Gerindra Ahmad Muzani menyebut bahwa Ketum Demokrat SBY berjanji mengkampanyekan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Tapi di lapangan, Gerindra melihat sikap Demokrat saat ini terlihat lebih fokus kampanye Pileg untuk kadernya dan partainya sendiri ketimbang kampanye Pilpres untuk pemenangan Prabowo-Sandi.
Ada sikap "ogah-ogahan" para kader Demokrat pada kampanye Prabowo-Sandi. Bandingkan dengan rekan satu koalisinya yang lain yaitu partai PAN yang selalu mengekor Sandi yang selalu berbaju biru tak kenal malu dan lelah berkampanye-turun ke masyarakat.Â
Walau sering memunculkan "drama komedi" ala Sandi. Ini soal selera. Soal strategi di lapangan. Soal anu dan nganu yang nganu---yang tak dipahami sebagian elit politik dan para pakar yang terpenjara teori di menara gadingnya.
PAN perlu diapresiasi. Mereka berharap mendapatkan efek. "Coattail effect"Â atau "efek ekor jas" terbesar dari Gerindra yang diuntungkan dalam Pilpres 2019 karena mengusung sendiri orang partainya yakni Prabowo-Sandi.
Partai PAN sadar, secara teori, mereka tak bisa untung besar berkoalisi dengan Gerindra di Pilpres 2019. Tapi itu kan teori para kaum pintar. Sementara politik seringkali tak butuh kepintaran, melainkan kecerdasan dan sedikit kelicikan yang dibumbui penyedap rasa tega setengah sendok makan.
Kurang apa gaya pakaian biru Sandi di ruang publik? Dia tampilkan diri identik dengan Biru Demokrat dan Biru PAN untuk membantu kedua pendukungnya itu mendapatkan coattail effect seoptimal mungkin. Kalau saja manajer klub Chelsea "The Blues" mengetahui Sandi suka pakai baju biru, mungkin pihak manajemen Chelsea FC akan memfasilitasi Sandi untuk nonton bareng--gratis bersama-- pendukungnya di lapangan kecamatan anu yang nganu.
Kok di kecamatan, bukan di Inggris? Lhaa, emangnya di Inggris banyak calon pemilih? Yang banyak itu di kecamatan, lebih maknyos. Tepat guna dan tepat sasaran.
PAN rela ikut membantu si Biru Sandi untuk "tukar uang dolar", "memikul petai", "pegang-pegang tempe setipis ATM", sementara Demokrat yang sesama biru masih "ngambek" ala juragan berdarah biru. Karena apa? Salah satunya karena soal janji Gerindra yang belum ditepati. Janji itu diberikan saat masa "akad perkoalisian" beberapa waktu lalu. Apa isi janjinya? Masih misteri.
Malah tanggapan Jansen Sitindaon---kader handal partai Demokrat agak keras kepada Gerindra, begini:
"Prabowo-Sandi dan Gerindra apakah kalian sudah memenuhi janji ke Demokrat? Jangan menagih janji, kalau janjinya sendiri belum dipenuhi kan gitu. Tanyakan saja ke Gerindra apa janjinya. Kalau janji itu kan tidak bisa diungkap ke publik. Tanyakan ke Gerindra jadi Pak Prab-Sandi belum memenuhi janji ke Demokrat itu juga bisa jadi judul. " (sumber).
Biarpun isi janjinya masih misteri, tapi setidaknya sekarang publik jadi tahu, Gerindra sudah pernah memberi janji kepada Demokrat, dan Demokrat menganggap Gerindra belum tunaikan janjinya.Â
Sementara, Gerindra menuntut Demokrat harus lebih dulu menunaikan janjinya pada Gerindra. Jadinya publik mengartikan bahwa antara Demokrat dengan Gerindra terjadi saling sandera janji.Â
"Mereka berdua mirip anak kecil, ya om?"
"Husss! Jangan sembarangan, nanti kualat kamu dikutuk jadi petai setipis ATM, baru tau!"
Soal misteri janji ini bisa menjadi "trik" politik tersendiri. Publik penasaran, sementara awak media "kegatelan" untuk mencari dan menelusuri isi janji itu. Kita tunggu saja, ya...heu heu heu! Soal "ngambeknya" Demokrat itu bersifat relatif. Tergantung cara pandang. Tergantung rasa tanpa Raisa lagi. Itu fakta! Terimalah....
Bisa dipahami, bahwa Demokrat tentu tak mau seperti PAN, walau Sandi sudah menggoda-menggodi Demokrat dengan baju birunya di pasar tradisional. Demokrat beda kelas dengan PAN.Â
Demokrat itu bukan cuma jersey-nya biru, tapi darahnya juga biru. Kalau saja Demokrat sudah lahir zaman revolusi tahun 1965, mungkin para kadernya akan berseru "Darah itu Biru, Jenderal!"
Demokrat partai pemenang pemilu 2 periode. Kursinya (pernah) banyak di parlemen. Ketuanya, yakni pak SBY pernah menjadi presiden RI selama 10 tahun. Karakter partai Demokrat sangat kuat.Â
Platform politik mereka jelas dan sudah mapan, nasionalis demokratis--tanpa lampiran relijius layaknya tuntutan zaman sekarang. Para kadernya jarang mengusung politik identitas dalam pendekatan ke masyarakat.Â
Partai Demokrat itu partai "hampir" modern. Mereka mirip partai PDIP, yang sudah lebih dulu besar dan berkibar. Lho, kok dikatakan "hampir" modern? Gini nih... menurut profesor Pebrianov dari Sekolah Tinggi Misteri Janji (STMJ), partai modern itu, salah satu kriteria mendasarnya adalah tidak tergantung hanya pada personal branding satu tokoh saja.Â
Demikian juga suksesinya tidak didasarkan pada faktor "keturunan atau keluarga" si pemimpin partai. Partai modern itu bukan seolah-olah partai keluarga. Bukan partai bernuansa oligarki. Lihat saja Demokrat dan PDIP, mereka merupakan bangunan yang mirip, hanya beda warna jersey-nya saja. Heuheu...! Apakah itu salah? Tidak sama sekali. Ini hanya doal pilihan kelembagaan saja.
Terus, partai modern di Indonesia ada nggak? Ada. Itu si kuning, Golkar. Lihat saja, Golkar kebalikan dari Demokrat dan PDIP. Golkar bukan mirip partai keluarga. Jauh dari kesan oligarki. Tidak tergantung pada satu sosok personal branding sejak zaman baheula sampai kini. Mereka profesional dalam suksesi (pergantian kepemimpinan), walau dinamika internal mereka sering gonjang-ganjing diterpa isu dan perkara korupsi serta kerasnya persaingan pergantian pemimpin partai. Itu lain persoalan.Â
Justru dengan dinamika yang terjadi itu, membuat Golkar makin kuat dan membuktikan mereka modern. Pergantian ketua umum dan para dewan pimpinan mampu menghadirkan wajah-wajah baru dan segar.
Golkar ibarat sebuah tim sepak bola modern, mereka tidak tergantung pada satu sosok mega bintang. Saat bermain, anggota tim memiliki positioning yang dinamis dan kuat, baik saat menyerang maupun bertahan.Â
Demikian juga dalam melakukan transisi sangat solid dan cepat dari menyerang ke bertahan atau dari bertahan ke menyerang. Setiap elemennya mampu menjaga zonanya. "Aaaiiiiiih, kok larinya ke bola? Udaaah aah, nanti timnas Filipina tahu rahasia kemudian ngalahin Timnas kita dengan mudah. Bisa gagal juara AFF2018, euy!". Heuheuheu...
Balik ke soal janji. Demokrat punya segalanya, misalnya: pengalaman 2 kali memenangkan kontestasi Pilpres, pengalaman memimpin negeri besar ini, punya struktur organisasi (infrastruktur partai) yang kuat dan tersebar di berbagai pelosok negeri, punya sosok SBY--mantan presiden yang masih kuat dan dirindu sebagian publik, punya "gizi" sangat baik (aspek pendanaan dan relawan).Â
Satu lagi, punya seorang kader milenial yang mantap, yakni AHY---pintar, santun, atletis, ganteng, tampan, cool, yang menjadi idola kaum hawa. Bisa bikin para gadis, mahmud (mamah muda), emak-emak stw sulit tidur membayangkan sosok AHY. Heuheu...!
Darah biru Demokrat ini bukan tak disadari Gerindra. Namun nyatanya semua sumber daya Demokrat itu sampai sekarang belum digunakan secara total untuk pemenangan Prabowo-Sandi. Ini yang bikin Gerindra gemezz dan kezzel. Sementara Demokrat menahan janjinya karena "platform" kampanye Gerindra tidak cocok dengan gaya "darah biru" Demokrat. Lalu, kenapa Gerindra tidak mau menyesuaikan diri dengan darah biru tersebut?
Ini soal harga diri seorang pemimpin. Di koalisi Adil Makmur, yang jadi pemimpin itu Gerindra (Prabowo). Jadi, anggota tim (termasuk Demokrat) harus mengikuti misi, visi, dan gaya si pemimpin. Bukan sebaliknya.
Disimpul itulah, janji antar janji kedua partai besar itu menjadi blunder pada level kader di berbagai media mainstream dan media sosial (twitter) sehingga diketahui publik secara luas.Â
Saling silang tuding pun terjadi antar para kader. Mirisnya, sosok selevel SBY pun ikut nimbrung di bercuit-ria di akun resmi Twitternya terkait tudingan tersebut. Hal ini bisa mendegradasi sosok ke-darahbiru-an seorang SBY. Maka tak heran, netizen sering menyebut SBY itu "lebay","baper", dll.
Bandingkan dengan Prabowo, bila ada polemik pada level kader di medsos dan media mainstream, dia tidak ikut campur secara langsung. Sehingga dia tidak mudah dijadikan sasaran tembak para pembully secara langsung. Sikap ini merupakan salah satu kelebihan seorang Prabowo, terlepas dia aktif atau tidak dalam dunia per-twitter-an.
Lalu bagaimana dengan PKS? Kok ikut-ikut diam saja?Â
Seperti dikatakan oleh Direktur Pencapresan Partai Keadilan Sejahtera, Suhud Aliyudin menilai partainya senasib dengan Partai Demokrat dalam pemilihan umum (Pemilu) serentak 2019. Ia mengatakan partainya harus berupaya keras untuk meraup suara elektoral lantaran yang akan mengambil untung besar dalam kontestasi politik mendatang adalah Partai Gerindra.
"Coattail effect atau efek ekor jas terbesar ya ke Gerindra. Kami merasakan hal yang sama--dengan Partai Demokrat". (sumber)
Pernyataan elit PKS itu mengisyaratan sebuah perasaan yang sama dengan Demokrat. Namun PKS tidak mau ribut telalu terbuka seperti Demokrat vs Gerindra.
Dalam soal polemik janji yang saat ini memanas, PKS mengambil posisi aman, karena PKS sedang menunggu "hadiah kursi" Cawagub DKI dari Gerindra yang sedang on going. PKS ingin menjaga suasana batin mereka dengan Gerindra, jangan sampai ribut yang berujung batalnya pemberian "hadiah" tersebut. Ini strategi politik yang tidak biasa dari PKS yang selama ini "garang".
Namun juga, sikap PKS ini mampu menjaga polemik janji tidak melebar dan lebih nyaring. Maluuu sama toko sebelah...heuheu!
Jadi, terkait janji dan sebuah rahasia. Dalam politik itu lumrah dilakukan dalam deal-deal tingkat tinggi tanpa perlu pernyataan "hitam di tas putih". Kuncinya adalah saling percaya. Saling menjaga janji sebagai sebuah rahasia bersama.
Tapi kalau akhirnya terbongkar ke ruang publik karena kadernya tidak taat, akibatnya kelembagaan koalisi mendapat malu, mengancam kesolidan koalisi pendukung pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno. Sekarang publik melihatnya secara nyata!
Pembelajaran dari Janji dan Rahasia
Dulu ada pepatah yang sering dipakai para pejuang saat menghadapi peperangan, yaitu "lebih baik pecah perut daripada pecah mulut". Artinya, sebuah rahasia harus terus dipegang jangan sampai bocor atau tercecer. Bahkan kalau perlu nyawa dipertaruhkan. Kenapa begitu?
Kalau sampai sebuah rahasia yang identik dengan janji sampai dibicarakan keluar dan kemudian diketahui pihak lawan, maka bukan hanya si pengumbar rahasia itu saja yang dibikin malu atau kehilangan nyawa, melainkan seluruh anggota tim pedukungnya atau tim pejuang. Dalam hal ini, "rahasia" tidak bersalah, "janji" pun tidak bersalah. Yang bersalah adalah si pemegang rahasia yang tidak taat janji. Sekaligius dia juga pemegang janji yang tidak cakap menjaga rahasia bersama.Â
Beberapa waktu lalu saya pernah berjanji secara politis untuk berhenti menulis di Kompasiana, ini tulisannya :Â "Alasan Keputusan Saya Berhenti Menulis di Kompasiana". Dan secara politis pula, sampai saat ini saya tetap konsekuen dengan janji saya. Kamu sekarang sudah paham kan, sayang? Kalau aku sih rapopo....
----
Peb20/11/2019Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H