Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Perseteruan Demokrat vs Gerindra, Gambaran "Rusaknya" Koalisi Prabowo-Sandi

19 November 2018   06:42 Diperbarui: 19 November 2018   08:38 1388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : kaltim.tribunnews.com

Satu "kesalahan" terbesar SBY dan Prabowo dalam persiapan Pilpres 2109 adalah keduanya tergabung dalam satu koalisi. SBY memutuskan untuk bergabung "Koalisi Adil Makmur" dengan Capres/Cawapres Prabowo-Sandi yang sebenarnya tak cocok dengan Demokrat, sedangkan Prabowo "mau-maunya" menerima SBY (Demokrat) dalam koalisinya. 

Akhirnya, keduanya melakukan kesalahan bersama di satu momen yang sama dan pada hajatan yang sama pula. Ini pembelajaran berharga untuk semua orang di luar lingkaran kelompok mereka berdua.

Ibarat dua orang berlainan jenis kelamin yang sudah dewasa dan mapan, keduanya sudah lama kenal tabiat masing-masing. Dari itu saja mereka sudah merasa tidak cocok. Mereka tidak saling cinta, tapi kemudian "terpaksa kawin" karena sudah dikejar "deadline umur". Si perempuan kalau ketuaan nanti tidak bisa hamil. Kalau hamil, bisa membahayakan nyawa si Ibu dan janin. Hilanglah masa depan.

Selain itu malu sama tetangga, kerabat dan handai taulan kalau tidak kawin. Dianggap tidak laku. Atau dianggap terlalu pilih-pilih buah manggis malah jadinya tak pernah makan buah manggis. Padahal manggis tersedia, dan tidak sulit dapatkan.

Sementara di sisi lain, tantangan masa depan menuntut kerja tim untuk mendapatkan suatu hasil yang mantap yang bisa dinikmati bersama.

Ketika SBY (Demokrat) dan Prabowo (Gerindra) resmi "akad nikah" dalam "satu rumah tangga koalisi", posisi Prabowo (Gerindra) "tidak butuh-butuh amat" akan tambahan partai, karena mereka sudah aman dengan koalisi yang ada sebelumnya (bersama PKS dan PAN) untuk mencalonkan satu pasang capres/cawapres.

Baca juga : "Masokisme Politik" Gerindra-Demokrat dalam Koalisi

Ini sebuah kesalahan Prabowo. Dia menerima Demokrat, padahal secara historis, dia punya kenangan buruk dengan SBY. Saat Prabowo "dipecat" dari TNI tahun 1998---karena kasus kerusuhan, penculikan aktivis dan upaya kudeta--- SBY lah salah satu anggota tim jenderal yang memecatnya. Secara psikologis, SBY adalah atasan Prabowo. Dimata SBY, Prabowo dipandang "punya cacat moral dan etika".

Namun di sisi lain, saat ini Prabowo sebagai capres dalam koalisi adalah pemimpin kelompok. Dia adalah sosok sentral dalam kelompok yang harus diperjuangkan oleh anggota kelompok. Sedangkan posisi SBY (Demokrat) adalah bagian dari kelompok yang harusnya ikut aturan main sang pemimpin kelompok.

sumber gambar : liputan6.com
sumber gambar : liputan6.com
Nampaknya kondisi "cacat etika" Prabowo dimata SBY sulit hilang, sehingga SBY pun sulit patuh secara total untuk mengikuti cara-cara Prabowo menjalankan strategi koalisi dalam pemenangan Pilpres 2109. 

SBY tak segan secara tidak langsung "menceramahi" kubu Prabowo (dan juga Jokowi) soal cara kampanye bernuansa SARA (politik identitas, kedaerahan, ras, hingga paham-paham ekstrem) yang kini berkembang dalam masa Pilpres 2019. Pernyataaan SBY ini ditanggapi sebagai "politik banci" oleh Eggy Sudjana---kader partai PAN, partai satu koalisi dengan Demokrat.  

SBY juga mengatakan ketua partai "tidak harus tunduk" pada pemimpin koalisi dengan mencontohkan dirinya saat dua kali menang pilpres lalu (lihat sumber). Selain itu, dikatakannya hanya Partai Gerindra lah yang diuntungkan pada Pemilu 2019 kali ini. Karena partai itu mengusung ketua umumnya sendiri Prabowo Subianto sebagai calon presiden. Bahkan calon wakilnya, Sandiaga Uno juga berasal dari Gerindra. Jadi bisa diartikan "Demokrat tidak diuntungkan" bergabung dengan Koalisi Prabowo-Sandi.

Namun demikian, Demokrat punya strategi tersendiri untuk bisa bertahan dalam parlemen. Sayangnya cara-cara Demokrat itu terlihat tidak menguntungkan upaya pemenangan Prabowo-Sandi. Salah satu contohnya, Demokrat memberikan keleluasaan kepada para kadernya untuk memilih Jokowi-Amin Ma'ruf.

Sayangnya, "pecah omongan" SBY dilakukan di ruang publik, yakni saat dia memberikan pidato pada forum pembekalan caleg Demokrat (Sabtu, 10/11/2018) yang disorot media. 

Selain itu di kesempatan lain, SBY ikut berceloteh lewat twitter tentang janji Gerindra pada Demokrat yang  tidak ditepati. Tentu saja ini menyakitkan pihak Gerindra. Akibatnya kader dan pendukung militan Prabowo pun membela dan balik menyerang SBY (Demokrat) soal janji Demokrat kepada Gerindra.

Yang kemudian terjadi di ruang publik adalah perang pernyataan para kader Gerindra vs Demokrat terkait janji antara kedua pihak. Muncullah perseteruan terbuka Demokrat vs Gerindra jilid II---setelah jilid I tentang "Jenderal Kardus" sudah redup di ruang publik---yang membuat suasana hubungan kedua pihak menjadi panas.

Andai saja "uneg-uneg" SBY itu disampaikan secara tertutup di internal Demokrat dan Gerindra bersama anggota koalisi mereka, mungkin masalah ini tidak jadi ramai. Tidak bikin malu rumah tangga koalisi "Prabowo-Sandi". Lalu, mengapa SBY melakukan itu secara "frontal" (terbuka)? Tentu ini ada kaitannya dengan agenda besar Demokrat untuk mengambil hati rakyat.

Disisi lain, Demokrat melihat cara kampanye Prabowo-Sandi saat ini "memang tidak menguntungkan" masa depan perpolitikan Demokrat, baik untuk mendapatkan banyak kursi di parlemen bagi para calegnya, maupun upaya membentuk citra AHY (Agus Harimurti Yudhoyono)--sang putra mahkota--yang akan dipersiapkan sebagai capres pada kontestasi Pilpres 2024 nanti.  Selain itu, kalau Prabowo menang Pilpres 2019, AHY akan sulit mengalahkan Prabowo selaku petahana saat Pilpres berikutnya. Bagaimanapun, posisi petahana sangat menguntungkan.

Langkah AHY harus dipersiapkan sejak dini. Kalau pada Pileg 2019 nanti kursi Demokrat banyak, maka Demokrat bisa jadi pemimpin koalisi untuk mencalonkan AHY pada Pilpres 2024. Untuk itu, sejak awal, saat ini, Demokrat harus jeli memahami sensitivitas rakyat. Mereka harus jeli mengambil hati rakyat. Mereka harus bisa meraih simpati dan dukungan rakyat.  

Demokrat paham, saat ini rakyat sudah semakin cerdas. Rakyat "jengah" dengan sebaran politik SARA. Rakyat sudah belajar dari Pilkada DKI 2016 yang penuh drama bernuansa SARA yang melukai hati nurani rakyat Indonesia yang majemuk. 

Pak SBY ingin mengabarkan kepada rakyat, bahwa Demokrat "tidak ikut-ikutan" dan kampanye SARA yang ada dalam "rumah tangga koalisi Prabowo-Sandi" --- walau Demokrat sendiri berada di dalam koalisi itu. Demokrat bisa jadi pahlawan yang nasionalis sejati di tengah persaingan kuat kubu Prabowo dengan kubu Jokowi yang hingar bingar dengan politik identitas. Dengan begitu, harapannya, simpati rakyat akan tertuju pada Demokrat.

Apa yang dilakukan SBY ibarat api dalam sekam atau perseteruan di dalam sebuah rumah tangga. Sang istri saking gemezz dan zebbell pada suaminya yang nakal, kemudian sengaja membuat pertengkaran terbuka agar para tetangga jadi kasihan, memberikan empati dan dukungan moral kepada si istri yang sudah tidak tahan dengan tabiat lama suami yang gak berubah-ubah. Berhasilkah sangat istri?

Yang terlihat justru rumah tangga menjadi tontonan banyak orang. Banyak orang yang akhirnya tahu isi dapur dan masalah ranjang rumah tangga tersebut. Di satu sisi, ini jadi pencerahan bagi banyak orang. Jadi pembelajaran. Para tetangga tak perlu mencontoh rumah tangga tersebut, walau tampak di luar si Suami dan si Istri memiliki status sosial sangat mapan.

Di sisi lain, orang akan kehilangan simpati orang pada rumah tangga itu. Banyak orang akan berpikir negatif kepada sang istri karena tidak bisa menjaga marwah rumah tangganya sendiri karena egonya yang besar, ingin terlihat suci dan baik dimata oranag lain. Padahal dengan mengumbar aib rumah tangga sendiri menandakan minimnya etika dan moral si Istri. Pun mungkin sebagian orang tahu masa lalu si Istri tersebut "tidak bagus-bagus amat" dalam pergaulan sosialnya.

Kalau dalam politik, sebuah koalisi itu merupakan sebuah gambaran pusat pengelolaan negara dalam skala kecil. Koalisi politik merupakan cikal bakal inti mengelola negara, seandainya memenangkan kontestasi politik. 

Namun bila internal kolisi ribut melulu, berarti orang-orang atau partai dalam koalisi itu tidak cakap mengelola negara yang besar seperti Indonesia. Artinya, kubu Prabowo tidak cakap memimpin negara ini sedangkan SBY yang berpengalaman dalam politik nyatanya tidak mau bikin hebat Prabowo atau tidak cakap membangun kepemimpinan Prabowo karena ambisi dan egoisme kelompok Demokrat sendiri.

Untuk saat ini---jelang Pilpres2019, dalam perseteruan Demokrat vs Gerindra tak ada yang menang, justru keduanya kalah di mata rakyat Indonesia. Kalau aku sih rapopo...

----  

Peb19/11/208

Referensi berita : 1,2,3,4

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun