Namun demikian, Demokrat punya strategi tersendiri untuk bisa bertahan dalam parlemen. Sayangnya cara-cara Demokrat itu terlihat tidak menguntungkan upaya pemenangan Prabowo-Sandi. Salah satu contohnya, Demokrat memberikan keleluasaan kepada para kadernya untuk memilih Jokowi-Amin Ma'ruf.
Sayangnya, "pecah omongan" SBY dilakukan di ruang publik, yakni saat dia memberikan pidato pada forum pembekalan caleg Demokrat (Sabtu, 10/11/2018) yang disorot media.Â
Selain itu di kesempatan lain, SBY ikut berceloteh lewat twitter tentang janji Gerindra pada Demokrat yang  tidak ditepati. Tentu saja ini menyakitkan pihak Gerindra. Akibatnya kader dan pendukung militan Prabowo pun membela dan balik menyerang SBY (Demokrat) soal janji Demokrat kepada Gerindra.
Yang kemudian terjadi di ruang publik adalah perang pernyataan para kader Gerindra vs Demokrat terkait janji antara kedua pihak. Muncullah perseteruan terbuka Demokrat vs Gerindra jilid II---setelah jilid I tentang "Jenderal Kardus" sudah redup di ruang publik---yang membuat suasana hubungan kedua pihak menjadi panas.
Andai saja "uneg-uneg" SBY itu disampaikan secara tertutup di internal Demokrat dan Gerindra bersama anggota koalisi mereka, mungkin masalah ini tidak jadi ramai. Tidak bikin malu rumah tangga koalisi "Prabowo-Sandi". Lalu, mengapa SBY melakukan itu secara "frontal" (terbuka)? Tentu ini ada kaitannya dengan agenda besar Demokrat untuk mengambil hati rakyat.
Disisi lain, Demokrat melihat cara kampanye Prabowo-Sandi saat ini "memang tidak menguntungkan" masa depan perpolitikan Demokrat, baik untuk mendapatkan banyak kursi di parlemen bagi para calegnya, maupun upaya membentuk citra AHY (Agus Harimurti Yudhoyono)--sang putra mahkota--yang akan dipersiapkan sebagai capres pada kontestasi Pilpres 2024 nanti. Â Selain itu, kalau Prabowo menang Pilpres 2019, AHY akan sulit mengalahkan Prabowo selaku petahana saat Pilpres berikutnya. Bagaimanapun, posisi petahana sangat menguntungkan.
Langkah AHY harus dipersiapkan sejak dini. Kalau pada Pileg 2019 nanti kursi Demokrat banyak, maka Demokrat bisa jadi pemimpin koalisi untuk mencalonkan AHY pada Pilpres 2024. Untuk itu, sejak awal, saat ini, Demokrat harus jeli memahami sensitivitas rakyat. Mereka harus jeli mengambil hati rakyat. Mereka harus bisa meraih simpati dan dukungan rakyat. Â
Demokrat paham, saat ini rakyat sudah semakin cerdas. Rakyat "jengah" dengan sebaran politik SARA. Rakyat sudah belajar dari Pilkada DKI 2016 yang penuh drama bernuansa SARA yang melukai hati nurani rakyat Indonesia yang majemuk.Â
Pak SBY ingin mengabarkan kepada rakyat, bahwa Demokrat "tidak ikut-ikutan" dan kampanye SARA yang ada dalam "rumah tangga koalisi Prabowo-Sandi" --- walau Demokrat sendiri berada di dalam koalisi itu. Demokrat bisa jadi pahlawan yang nasionalis sejati di tengah persaingan kuat kubu Prabowo dengan kubu Jokowi yang hingar bingar dengan politik identitas. Dengan begitu, harapannya, simpati rakyat akan tertuju pada Demokrat.
Apa yang dilakukan SBY ibarat api dalam sekam atau perseteruan di dalam sebuah rumah tangga. Sang istri saking gemezz dan zebbell pada suaminya yang nakal, kemudian sengaja membuat pertengkaran terbuka agar para tetangga jadi kasihan, memberikan empati dan dukungan moral kepada si istri yang sudah tidak tahan dengan tabiat lama suami yang gak berubah-ubah. Berhasilkah sangat istri?
Yang terlihat justru rumah tangga menjadi tontonan banyak orang. Banyak orang yang akhirnya tahu isi dapur dan masalah ranjang rumah tangga tersebut. Di satu sisi, ini jadi pencerahan bagi banyak orang. Jadi pembelajaran. Para tetangga tak perlu mencontoh rumah tangga tersebut, walau tampak di luar si Suami dan si Istri memiliki status sosial sangat mapan.