Des, dari lolongan penjelang kematian mereka, dan pancaran belatimu di langit hitam, aku tahu kau mencariku.Â
Sengaja aku tak beranjak. Saat itu altar kelelakianku jadi tempat nyaman menikmati pertunjukan hasrat primitifmu.
Kau memang tak berubah. Tetap perempuan iblis. Sangat keparat. Dan dengan belahanmu yang samar, selalu jadi magnet rinduku.
Tahu kah kau? Tatapanku tak lepas dari setiap ayunan belatimu pada tubuh para lelaki bersujud memeluk kakimu, sambil kunikmati gelinjang para perawan tolol yang datang mengantarkan birahinya.Â
Aku tak pernah menancapkan kuku di tubuh mereka seperti lakumu saat menggapai tuntas. Terlalu sia-sia, Des.Â
Aku ingin setiap detail tubuhku menikmati gelombang kedutan dan lenguh mereka. Nafas yang tercerabut perlahan. Keperihan yang tertahan. Hingga mereka tak  lagi bergerak. Dan kemudian iblis memanggilkan yang baru untukku.Â
Des, jadi saat kau mencariku, aku pun sedang bersantap malam. Menikmati kelembutan lekuk-lekuk di nampan yang akan jadi nisan mereka.
Tak usah kau murka. Bertemu denganmu hanya pilihan momentum. Bukan soal lama penantian ujung bibirku. Atau cepatnya penyambutan lilitan lidahmu.Â
Mungkin kau lupa. Keabadian waktu telah jadi milik kita, setelah kau cincang tubuh malaikat dan kumuliakan iblis di peraduan kita. Karena itu, tahan dulu hasratmu. Sabar dan pahami lah, lelehan hasrat kita tak pernah berkesudahan.
---Â
06/11/2018
Menanggapi ; Peb, Tunggu Aku di Ujung Bibirmu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H