Mohon tunggu...
Peb
Peb Mohon Tunggu... Arsitek - Pembaca yang khusyuk dan penulis picisan. Dulu bercita-cita jadi Spiderman, tapi tak dibolehkan emak

Bersukarialah dengan huruf, kata dan kalimat. Namun jangan ambil yang jadi milik Tuhan, dan berikanlah yang jadi hak kaisar.

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Bolehkah Penumpang Pesawat "Minta Turun" dalam Perjalanan Penerbangan?

30 Oktober 2018   15:10 Diperbarui: 31 Oktober 2018   10:30 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Setelah cukup lama, tiba-tiba aja para penumpang dipaksa masuk karena katanya mau engine checking, trial, percobaan," ujar Conchita Carolina. (sumber) 

Artikel ini tentang berbagi pengalaman saya, sekaligus jadi sebuah pertanyaan besar kepada pihak berwenang dalam transportasi udara.

Sebelumnya saya telah membaca beberapa pengalaman "horor" beberapa Kompasianer saat menumpang pesawat. Demikian juga  saya baca berita di media mainstream tentang pengalaman seorang artis bernama Conchita Carolina. 

Dia naik pesawat Lion Air bernomor PK-LQP rute Denpasar-Jakarta pada Minggu (28/10/2018) malam. Pesawat tersebut mengalami beberapa kali gangguan teknis saat akan take off. Pada akhirnya pesawat berangkat juga ke Jakarta dan tiba dengan selamat, walau selama penerbangan dia merasakan beberapa kejanggalan, terutama suara mesin pesawat yang terdengar "tidak biasa". 

Pesawat Lion Air inilah yang pada esok harinya Senin pagi, 29/10/2018, jatuh diperairan Karawang dalam perjalanan Jakarta-Pangkal Pinang.

*** 

airport.com
airport.com
Saya jadi teringat pengalaman "horor" saat naik pesawat. Sebenarnya soal pengalaman "horor" naik pesawat sudah sering saya alami, bukan saja saat numpang Lion Air, melainkan maskapai penerbangan lain seperti Batavia Air, Sriwijaya Air, dan bahkan Garuda Air ke sejumlah provinsi. Setahu saya, pengalaman "horor" itu lebih disebabkan cuaca buruk saat pesawat berada di ketinggian tertentu. 

Dari beberapa pengalaman horor itu, yang paling Horor dan berkesan saat naik Lion Air tahun 2016 rute penerbangan Pontianak-Bandung. Keberangkatan jam 19.00. Waktu tempuh normal perjalanan sekitar 1 jam 30 menit.

Saat berangkat malam dari Pontianak, semua berjalan mulus. Udara cerah, dan soal mesin tidak ada gangguan.  

Saat penerbangan sudah mendekati 1 jam perjalanan, fase horor pun dimulai. Awalnya goncangan-goncangan kecil yang umumnya sering terjadi dalam penerbangan. 

Sebelumnya, pihak pilot pesawat sudah mengumumkan bahwa pesawat akan memasuki "kondisi cuaca yang kurang baik". Jadi penumpang diminta kembali ke tempat duduk masing-masing dan memasang sabuk pengaman. 

Saat itu, dengan melihat jam sudah melewati 1 jam penerbangan, saya perkirakan pesawat sudah memasuki wilayah udara Jawa Barat atau malah sudah di atas kota Bandung. 

Semakin lama, goncangan pesawat makin keras. Kami yang berada dalam pesawat seperti diaduk-aduk. Seperti nomor arisan yang dikocok-kocok dalam toples. Sering terdengar bunyi gedubak! Mungkin karena benturan body pesawat dengan gumpalan awan. 

Beberapa kali pesawat terasa "terjun bebas" atau kehilangan ketinggian. Mungkin karena tidak adanya tekanan udara luar, atau pesawat masuk ke zona hampa tekanan udara. Kalau sudah jatuh bebas begitu, seluruh isi perut beserta perangkat jeroan perut serasa pindah ke tengorokan. Benar-benar menyeramkan.

Beberapa tas penumpang ada yang terjatuh dari kabin atas yang terbuka karena goncangan. Saat itu tak ada crew pesawat dan penumpang yang memperdulikan karena mereka "dipaksa keadaan" untuk tetap di posisi masing-masing. 

Banyak penumpang berteriak-teriak, berdoa menyebut nama Tuhannya. Saya pun berdoa. 

Saya duduk di seat A, dekat jendela. Pandangan saya tak lepas dari jendela itu. Untuk "melihat posisi pesawat" terhadap daratan--yang sebenarnya tak juga bisa saya ketahui karena lagit gelap. Hanya terlihat lampu diujung sayap pesawat saja. 

Dari jendela itu saya lihat petir beberapa kali menyalak di langit. Sangat menakutkan. Timbul kekuatiran petir itu menyambar badan pesawat, walau saya tahu ada penangkal petir dalam sistem pesawat modern. Saya berharap sistem itu bisa bekerja dengan baik. Tapi siapa tahu dengan kekuatan petir maha dahsyat...? Hadeuuh!

Saat itu horor dalam partai puncak. Itu terjadi selama kira-kira 45 menit. Saya pun mulai ketakutan, tapi berusaha tenang. Tangan berpegangan pada handel tempat duduk, sedangkan kaki menekan pada besi kaki tempat duduk di depan saya.

Saya lihat, seorang ibu di seat B tepat  di sebelah saya, tidak bersuara. Hanya memejamkan mata sambil komat-kamit berdoa. Berbeda dengan ibu yang satunya di seat C, setiap ada goncangan pesawat dia berteriak--seperti penumpang lainnya.

Sengaja pandangan saya terus ke jendela, untuk mengalihkan rasa takut. Saya berharap pilot melakukan pendaratan darurat di bandara terdekat. Itu saja yang ada dalam pikiran saya saat itu. Plisss...pliss..pliss...!

Dan ternyata harapan saya terkabulkan. Terdengar pengumuman dari  pilot ; "penumpang diharapkan tenang, cuaca sedang tidak baik. Pesawat dalam kondisi terkendali. Kita akan melakukan pengalihan pendaratan di Bandara Soekarno Hata". Yess!

Beberapa waktu kemudian pesawat sudah mulai tidak bergoncang hebat. Dan berangsur tenang. Keluar lagi pengumuman pilot bahwa pesawat mengarah ke bandara Soekarno-Hatta, dan penumpang diminta bersiap-siap.

Hati saya sudah tenang. Saya sudah bertekad. Saya akan turun saja di Soekarno-Hatta, cari minuman teh hangat, cari penginapan di Jakarta. Biarlah esoknya saya keluar ongkos sendiri ke Bandung menggunakan kereta. Yang penting hati tenang. Titik!

Akhirnya pesawat landing dengan mulus di Soekarno-Hatta. Kami para penumpang bersyukur. Ketika pesawat sudah berhenti, sejumlah penumpang antri ke toilet, ada yang akhirnya muntah di lorong karena lama mengantri.

Saya pun berdiri, kebetulan seorang crew pesawat berada tak jauh dari deret tempat duduk saya. Saya katakan ingin turun di sini saja, melanjutkan sendiri ke Bandung besok. Tapi crew itu melarang saya. Dia katakan pesawat akan take off lagi setelah cuaca Bandung membaik. 

Di deret seat itu akhirnya saya bertengkar dengan crew tersebut.  Emosi saya memuncak, saya bicara keras! Saya tetap ngotot ingin tetap turun. Sejumlah penumpang pun ikut mendukung saya, mereka juga ingin turun.

Datang bala bantuan crew lain, dia memegang tubuh saya. Dan meminta saya tetap tenang. Dia jelaskan "kita sedang parkir sementara, menunggu kabar cuaca Bandung kondusif".  Katanya, penerbangan ke Bandung tidak lama, hanya 25 menit. Setelah lama bertengkar, akhirnya saya mengalah juga, dan kembali duduk. Seluruh penumpang harus tetap dalam pesawat.

Pesawat cukup lama parkir di Bandara Soekarno-Hatta, kira-kira 1 jam. Waktu sudah menunjukkan sekitar pukul 23. Kembali ada pemberitahuan resmi pilot, bahwa pesawat menunggu cuaca cerah, jarak pandang 1200m, baru bisa terbang lagi. Sementara di Bandung dan sekitarnya jarak pandangan masih berkisar 600 meter karena cuaca buruk. 

Setelah menunggu lama, akhirnya ada pemberitahuan cuaca di Bandung dan sekitarnya sudah kondusif. Jarak pandang sudah 1200 meter. Pesawat pun take off lagi menuju Bandung. Waktu menunjukkan sudah pukul 24 kurang.

Saat sudah mengudara, ada pemberitahuan pilot bahwa pesawat akan terbang rendah sampai ke Bandung. Waktu tempuh 25 menit, Ketinggian pesawat 10 ribu sampai 12 ribu kaki.

Dalam pikiran saya,  "wah pantas saja dari sejak take off ketinggian pesawat konstan". Terlihat jelas lampu-lampu kota Jakarta, bahkan lalu lintas mobil dan atap rumah. Begitu juga ketika sudah keluar wilayah Jakarta, jalan tol Cipularang (?) terlihat jelas, mobil hilir mudik, rona atap rumah perkampungan dan kontur gunung-bukit terlihat samar.

Kembali timbul kekuatiran saya. Ini kalau mendadak cuaca buruk lagi, pesawat tentu langsung ngungsep karena tidak bisa mengatur ketinggian lagi. Ingin rasanya saya omongkan ke Ibu sebelah, tapi saya malu, dan kuatir dia ketakutan. Padahal saya sendirilah yang takut. Heuheu...

Dengan penerbangan rendah, akhirnya sampailah pesawat ke Bandung dengan selamat. Dan memang, setelah saya ngobrol dengan supir taksi yang saya tumpangi, dia katakan tadi Bandung hujan lebat cukup lama. Tidak ada pesawat yang mendarat sampai tengah malam.  

Membaca pengalaman artis Conchita Carolina, saya jadi terpikir dengan pengalaman saya ngotot ingin turun, dan tidak melanjutkan penerbangan. Bila Conchita dan penumpang lain sempat turun beberapa menit, dan kemudian "dipaksa" naik lagi dengan alasan "Checking Engine-Trial". Wah...kalau itu saya,  sudah pasti tidak akan masuk pesawat lagi. Mendingan tunda keberangkatan, biarlah tiket hangus. 

Saat saya bertengkar ingin turun, memang tidak ada petugas bandara yang "mengantar" tangga pesawat. Jadi, pesawat memang hanya parkir saja di salah satu bagian landasan, dekat sejumlah deretan pesawat lainnya. 

Saya berpikir, soal keberlanjutan penerbangan sebenarnya adalah hak penumpang. Penumpang harusnya memiliki hak memilih "stop sampai disitu" atau ikut melanjutkan penerbangan. Tentunya dengan konsekuensi biaya yang adil.

Dalam waktu tunggu itu, janganlah penumpang dikurung dalam pesawat seperti ikan lele dalam baskom. Makin stres jadinya. 

Bayangkan bila penerbangan lanjutan dengan pesawat yang sama ditempuh 2 jam atau lebih. Trauma penumpang masih lekat, belum ada jeda berarti untuk cooling down. Eeh, "dipaksa" maskapai harus lanjutkan penerbangan setelah dikurung lama dalam pesawat yang parkir! 

Dalam kasus saya, jarak Jakarta-Bandung relatif dekat dengan waktu tempuh 25 menit penerbangan, itu saja sudah bikin was-was. Waktu 25 menit serasa berjam-jam!

Lalu bagaimana bila penerbangan lanjutan selama 2 jam atau lebih, tentu jadi penyiksaan mental yang luar biasa!

Apakah kalau hanya parkir di bandara untuk menunggu cuaca baik tanpa menurunkan penumpang terlebih dahulu, adalah cara hemat maskapai? 

Kalau menurunkan penumpang berarti keluar ongkos sewa tangga/garbarata, ruang tunggu, dan lain-lain berarti mengeluarkan ongkos tambahan maskapai ke pihak Bandara?

Rasa trauma penumpang tidak sebanding dengan uang sewa ekstra maskapai ke pihak Bandara yang hanya beberapa jam untuk meng"Cooling Down" kan trauma yang baru dialami para penumpang.

Sampai sekarang saya tidak tahun aturan hak penumpang bila ada kasus yang mirip saya dan Conchita alami. Mungkin para pembaca ada yang paham dan bisa memberikan masukan? Akan lebih baik lagi bila ditanggapi pihak yang berwenang. 

Ini masalah serius. Dan kali ini saya pun serius, tanpa guyon ya..om/tante...

--- 

Peb 29/10/2018

Tambahan referensi berita ;

https://m.detik.com/news/berita/4278530/lion-air-yang-jatuh-sempat-masalah-di-bali-ini-kesaksian-penumpang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun